Bab 8. Sebuah Usaha

177 39 10
                                    

.
.
.
Happy reading! 💕

Setelah mendapat amarah dari Farrel kemarin, Lily tidak mengatakan apa pun tentang pertemuannya dengan ibu pemuda itu, kepada kedua kakaknya. Mereka pasti akan lebih marah karena sudah melarangnya ke mana-mana, terlebih kondisinya masih belum pulih.

Di hari-hari berikutnya, Lily rutin mengunjungi kamar Raga lagi, tetapi kali ini Lily hanya diam di kursi rodanya menunggu dari luar pintu kamar yang tertutup. Gadis itu ingin sekali bisa masuk, lalu mengucapkan maaf secara langsung, tetapi ada rasa takut untuk bertemu dan berhadapan dengan pemuda itu.

Lily melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan Ares atau Farrel, saat mereka berdua tidak ada untuk menemaninya. Lily juga sebisa mungkin menghindar untuk bertemu dengan ibu pemuda itu yang setiap waktu ada di sana, Lily takut dan tidak ingin membuat keributan.

Lily berulang kali memikirkan bagaimana reaksi pemuda itu jika bertemu dengannya. Ibunya bahkan marah, bagaimana dengannya? Pemuda itu pasti tidak menerimanya, dan hal itulah yang dia takutkan.

Rasa bersalah memaksanya untuk mengucapkan permintaan maaf, tetapi rasa takut menahannya untuk melakukan itu.

Kadang, terdengar suara pemuda itu berteriak di dalam kamarnya sebelum akhirnya suara sang ibu berusaha menenangkannya. Hal itu membuat perasaan bersalah dalam hati Lily semakin besar dan membuatnya merasa sesak setiap hari.

***

Siang itu Lily seperti biasanya, Lily sudah berada di depan kamar Raga selama 30 menit. Dia berniat kembali ke kamarnya lagi, namun ketika Lily memutar kursi rodanya seseorang memanggil namanya. Lily menoleh dan melihat sosok ibu pemuda itu sedang berjalan di lorong Rumah sakit menuju ke arahnya.

"Kamu, Lily yang waktu itu, kan? Tunggu."

Lily memilih berhenti dan mengangguk sopan untuk menyapa wanita itu.

"Kamu ada di sini lagi?" tanyanya, kali ini sebuah senyum samar tergambar di sudut bibirnya saat bicara.

"Iya, saya ... saya tadi sedang keluar kamar mencari kakak saya. Kalau begitu saya permisi dulu, Tante," jawab Lily berusaha menghindar agar sang ibu tidak curiga.

"Tunggu sebentar. Saya tahu kamu setiap hari datang kemari dan hanya menunggu diam di luar."

Lily terkejut mendengarnya dan refleks mendongak menatap wanita itu. "Bagaimana Anda tahu, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ...." ucapannya terhenti karena dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Saya mengerti. Maafkan atas sikap saya kemarin. Sebagai seorang ibu, rasanya sulit menerima jika anaknya menderita. Namun, saya sadar, musibah dan kecelakaan terjadi bukan karena direncanakan. Itu adalah takdir dari Tuhan terlepas dari kesalahan manusia. Maaf, karena saya telah menyalahkan kamu, padahal saya tahu kalau anak saya juga melakukan kesalahan."

"Tidak, Tante, sayalah yang seharusnya minta maaf, karena jika saya lebih berhati-hati hal ini tidak akan terjadi," ucap Lily yang kini semakin menunduk bersalah.

"Kamu mau masuk dan bertemu dengan Raga?" tanya wanita itu tiba-tiba.

"Saya tidak punya keberanian untuk menemui anak Tante, meski saya sangat ingin minta maaf padanya."

"Bagaimana kamu tahu, jika tidak mencoba untuk memulainya? Masuk saja, saya akan menemanimu."

"Tapi ...."

"Panggil saja saya Tante Diany."

Lily tampak ragu sejenak, tetapi entah kenapa senyum hangat dari wanita bernama Diany itu seolah menguatkannya untuk setidaknya mencoba menemui Raga. Lily menganggukkan kepalanya, lalu Diany mendorong kursi rodanya membawanya masuk.

Lily mempersiapkan hatinya saat memasuki ruangan. Akhirnya Lily melihatnya, seorang pemuda yang tadi terpejam kini langsung membuka matanya saat mendengar bunyi pintu terbuka.

"Mama?"

"Hai, Sayang. Iya, ini Mama. Maaf, ya, Mama datang terlambat karena harus mampir ke apotek dulu."

"Mama datang bersama siapa? Sepertinya Mama tidak datang sendirian."

"Ah, iya, Mama tidak sendirian. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

"Siapa?"

Mendengar suara dingin dari pemuda itu membuat Lily merasa sangat gugup dan takut, "H-hai, kamu Raga, kan? Salam kenal, namaku Lily."

Pemuda itu mengernyitkan dahinya sekilas dan menoleh ke asal suaranya, membuat rasa sakit berjengit dalam hati Lily.

"Iya, aku Raga, kamu siapa?"

"Aku pengemudi mobil yang mengalami kecelakaan denganmu." Suara Lily terdengar begitu lirih nyaris berbisik di akhir kalimatnya.

Seketika Raga diam membeku, dengan rahang mengeras. Dia memejamkan matanya sementara Lily menunggu ekspresi apa pun yang mungkin akan muncul darinya. Diliriknya Tante Diany yang juga terlihat khawatir. Raga mengatur napasnya sesaat, lalu kembali membuka matanya yang kosong tanpa ekspresi.

"Jadi, kamu orangnya? Kamu yang mengemudi mobil malam itu?" tanyanya dengan intonasi suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya.

"Benar, aku yang mengemudikan mobil malam itu. Maaf, aku baru datang menjengukmu karena keadaanku juga tidak baik."

"Ck! Keadaanmu yang tidak baik? Apa yang kamu alami karena kecelakaan itu? Kamu kehilangan tanganmu? Kakimu? Atau kamu kehilangan anggota tubuhmu yang lain? Kamu lumpuh?" tukasnya dengan suara yang penuh emosi.

Lily tahu pemuda itu mencoba untuk menahan emosinya, tapi sepertinya itu tidak mudah.

"Raga! Kenapa kamu bicara seperti itu padanya? Dia juga mengalami luka akibat kecelakaan itu, Sayang." tegur Diany terkejut dengan sarkasme dalam ucapan Raga.

"Kenapa, Ma? Raga hanya ingin tahu apakah dia juga mengalami kehilangan yang besar seperti Raga kehilangan mata!"

"Aku datang untuk meminta maaf karena aku dengar kamu mengalami luka yang lebih parah, kehilangan penglihatanmu ...."

"Kamu datang untuk meminta maaf atau untuk mengasihaniku yang menjadi buta ini? Kamu ingin memperlihatkan padaku bahwa keadaanmu lebih baik dariku?" teriak Raga tanpa sadar dengan emosi tinggi.

"Raga! Jangan seperti itu, Nak. Kamu tidak boleh bersikap seperti itu pada Lily! Mama tahu kamu marah, tetapi bukan seperti ini." Diany memeluk Raga, berusaha menahan air mata.

"Lalu Raga harus bersikap seperti apa, Ma? Berterima kasih atas keadaan ini atau menerima permintaan maafnya yang telah membuat Raga seperti ini? Raga memang salah karena mengemudi dengan kecepatan tinggi, tapi Raga tidak menerobos isyarat lampu lalu lintas, Ma. Dia yang menerobos!"

"Mama tahu, tapi kamu tidak seharusnya bersikap kasar seperti itu. Mama juga marah saat pertama kali bertemu Lily, tapi dia sungguh-sungguh ingin menemui kamu dan minta maaf." Diany berusaha menenangkan Raga meski wanita itu juga sama-sama rapuh karena keadaan.

Lily hanya mampu melihat semua kegaduhan yang disebabkan olehnya, membuat rasa bersalahnya terasa semakin berat.

"Pergi."

Seketika Lily mendongak menatap Raga yang kini mulai sedikit tenang.

"Pergi kamu dari sini. Aku tidak ingin melihat, ah tidak ... bahkan aku tidak bisa melihat, bodoh." Raga tertawa kosong yang terdengar seperti jeritan di telinga Lily. "Aku tidak ingin berada bersama orang sepertimu."

Lily tidak tahu lagi harus mengatakan apa, rasanya sesak saat dia tidak diinginkan. Sepertinya dia mengganggu Raga dengan keberadaannya sekarang.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku sangat menyesal, maaf," ucap Lily lirih sebelum mengangguk sopan pada Diany dan memutar kursi rodanya untuk kembali ke kamar.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Where stories live. Discover now