Bab 13. Keputusan (Raga Side)

175 35 39
                                    

Happy reading! 💕
.
.
.

Ini terasa menjengkelkan dan membuatku terus merasa kesal. Gadis bernama Lily itu datang lagi ke rumahku, bagian terburuknya adalah Mama yang memberinya izin. Aku masih tidak bisa menerima keadaanku sekarang, rasanya aku selalu ingin marah.

Bahkan aku sering melampiaskannya pada Kean atau Mama. Kehadiran gadis itu membuatku semakin kesal karena mengingatkanku pada malam sialan itu. Keadaan yang sulit, ditambah lagi kehadirannya yang bersikeras untuk membantuku.

Aku benci dikasihani.

Dan sekarang Mama justru meninggalkannya di rumah bersamaku. Aku sudah menyuruhnya pergi.

Siapa juga yang menginginkannya? Aku juga tidak butuh bantuannya.

"Ada perlu apa kemari?" tanyaku memecah keheningan.

"Aku kan sudah bilang kalau aku akan membantumu. Jadi aku datang untuk menepati janjiku," jawabnya.

"Aku tidak perlu bantuan. Pulang sana."

Aku mengusirnya dengan kata-kata yang dingin dan ketus berharap dia tersinggung dan tidak akan datang lagi. Namun, tiba-tiba kami dikagetkan oleh bunyi telepon rumah yang berdering.

"Biar aku saja!" Kudengar dia bergegas menjawab telepon di ruang tengah.

"Halo, dengan kediaman Ibu Diany. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya pelan.

"Ah, iya tunggu sebentar. Hei, ada telepon untukmu dari seseorang bernama Erlangga," ucapnya. Aku melangkah dengan hati-hati menuju ke arahnya, tetapi ternyata salah.

"Hei, ke arah sini." Dia tiba-tiba menggandeng tanganku.

"Pergi! Aku tidak butuh bantuanmu."

"Kenapa kamu keras kepala? Jelas-jelas butuh bantuan," gumamnya kesal.

Aku menerima telepon dari Erlangga, sahabat sekaligus rekanku bekerja di perusahaan Papa. Dia memberitahuku bahwa klien kami meminta hasil desain layout rumahnya selesai secepatnya.

Sialnya, aku tidak ingat bahwa sebelum mengalami kecelakaan aku sedang mengerjakan proyek itu. Hampir selesai sebenarnya, tapi masalahnya adalah hanya aku yang tahu persis layout desainnya dan sekarang Erlangga sedang bingung untuk melanjutkan proyek ini tanpaku. Dia tahu sekarang kondisiku tidak memungkinkan untuk kembali mengerjakan proyek itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan saat aku diam begitu lama.

"Kenapa masih ada di sini? Pulang sana."

"Kenapa kamu terus mengusirku? Aku hanya ingin membantu."

"Aku tidak butuh bantuan."

"Aku tidak mau pulang. Aku di sini untuk membantumu, lagi pula ibumu sudah memberi izin."

"Terserah."

Aku berjalan hati-hati menuju kamar kemudian sengaja menutup pintunya keras. Menjengkelkan karena dia menolak pergi setelah kuusir.

Terserah.

Aku mengunci diriku di dalam kamar. Aku tidak butuh bantuannya. Aku tidak akan membiarkan gadis itu mengasihaniku dan memandangku lemah.

Tiga puluh menit rasanya aku hanya diam dalam kamar memikirkan solusi masalah pekerjaanku, rasanya sangat kesal. Ditambah kenyataan gadis itu menunggu di luar sangat menggangguku.

Apa dia sudah pergi?
Atau dia masih ada di ruang depan?

Menyebalkan karena sekarang aku jadi penasaran dan itu hanya akan membuatnya jadi besar kepala jika dia mengira aku peduli. Baiklah, aku hanya perlu mengeceknya. Perlahan aku berjalan dan membuka pintu kamarku, berhenti di ambang pintu.

"Hei," ucapku dengan kesal, sekedar memastikan keberadaannya.

"Ya?" Kudengar dia menjawabnya dengan sedikit ragu dan itu menandakan dia masih ada di rumahku.

"Bukankah aku menyuruhmu pulang? Kenapa masih ada di sini?" Lagi-lagi aku bertanya dengan nada dingin dan ketus.

"Bukankah aku juga sudah mengatakan jika aku di sini untuk membantumu? Aku tidak akan pulang," jawabnya keras kepala.

"Apa kamu butuh sesuatu untuk kubantu?" tanyanya dengan nada hati-hati.

Mendengarnya aku hanya terdiam, memikirkan bagaimana caranya agar gadis ini menyerah dan pergi.

"Kamu kasihan padaku, ya? Apa aku terlihat sangat menyedihkan di matamu?"

"Aku 'kan sudah mengatakannya padamu, aku membantumu karena rasa bersalah dan tanggung jawab. Bukan karena aku kasihan, kenapa kau terus menanyakan hal itu dan tidak mempercayaiku?"

"Jika kamu ada dalam posisiku, apa kamu akan begitu saja percaya padaku jika aku membantumu? Apa kamu akan merasa baik-baik saja menerima bantuan tanpa merasa bahwa keadaanmu tidak menyedihkan?" tanyaku sengit padanya. Aku ingin dia tersinggung dan pergi.

"Jika aku yang ada dalam posisimu, aku berpikir dengan baik untuk belajar menerima keadaan meski itu sangat sulit dan tentu saja aku akan menerima bantuan orang lain bahkan mungkin memanfaatkan kebaikanmu untuk membalas sakit dan kemarahanku," jawabnya kali ini terdengar agak kesal.

Namun, dari perkataannya barusan dia benar-benar berpikir bahwa tak masalah baginya jika dimanfaatkan? Apa dia bodoh berpikir begitu?

"Itu artinya kamu tidak peduli untuk memanfaatkan orang lain yang membantumu?" Aku memastikan lagi tebakanku tentangnya.

"Ya, itu lebih baik daripada aku menolak bantuan dan memperburuk keadaanku dengan amarah serta sibuk mengasihani diri sendiri," jawabnya tegas.

Baiklah, dia gadis yang keras kepala.

Dia yang menyarankan diri untuk dimanfaatkan meski aku sudah menolak.

Sialan.

Kenapa harus ada masalah lain saat keadaaanku tidak baik-baik saja seperti ini?

"Jalan Darmawangsa Gedung Blok E lantai 4." Kulemparkan sebuah kunci mobil yang sedari tadi kugenggam, terdengar jatuh begitu saja di lantai.

"Apa?" tanyanya bingung, tetapi sepertinya dia mengambil kunci di lantai.

"Apa kamu tuli?" Aku mulai mengarahkan tongkatku dan melangkahkan kakiku hati-hati menuju arah pintu depan.

Hanya ini pilihan yang bisa kulakukan sekarang, menerima bantuannya dengan terpaksa demi pekerjaanku. Aku tidak mau mendapat komplain dari klien yang bisa merusak reputasi perusahaan Papa.

Kudengar langkah kakinya berlari kecil menyejajariku.

"Awas. Ada undakan turun di depan." Dia tiba-tiba menggandeng tanganku untuk berjalan lebih pelan.

"Lepas. Aku mengenal denah rumahku sendiri," tukasku sambil melepaskan lenganku darinya, tetapi dengan keras kepalanya gadis itu kini malah melingkarkan tangannya di lenganku.

"Aku tahu, tapi tetap harus hati-hati, 'kan? Nanti kalau kamu jatuh, aku akan merasa semakin bersalah."

Aku menurut sampai dia membukakan pintu mobil untukku dan dia sendiri duduk di balik kemudi.

"Jangan menabrak dan membuatku mati kali ini," tukasku.

Kudengar gadis itu mendengus kesal.

"Kenapa kamu bicara begitu? Aku akan hati-hati mulai sekarang," ucapnya yang kemudian mengambil alih seat belt dari tanganku karena sejak tadi aku tidak bisa memasangnya lagi dengan mudah.

Aku menggertakkan gigi dan memilih untuk diam sebelum aku melemparkan lagi kata-kata dingin padanya.

Setidaknya aku sekarang harus menahan diri dan memikirkan pekerjaanku.

Kuharap aku bisa mengatasinya untuk proyek terakhir yang kupegang ini.
Semoga Erlangga bisa membantuku sampai proyek ini selesai.

Aku tidak bisa menyerah begitu saja dan mengecewakan Papa.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Where stories live. Discover now