Bab 16. Jalan Buntu

132 31 31
                                    

Happy reading! 💕

.
.
.

"Eh? Adel, tumben pagi-pagi udah ke sini?" seru Lily yang terkejut melihat Adel datang ke kafe bahkan sebelum jam kafe buka.

"Iya, mampir sekalian karena lewat sini. Aku tahu kamu pasti sudah datang." Adel tersenyum lalu memeluk sahabatnya itu. Dia mengambil tempat duduk di kursi bar. "Jadi gimana kemarin? Kamu mulai untuk bantuin si 'itu'?

Lily menghela napas mendengar pertanyaan sahabatnya itu. "Iya, kemarin aku udah ketemu dia dan sedikit membantu jika bisa dibilang begitu. Lagian ya Del, namanya Raga buka si 'itu'," ucap Lily membenarkan.

"Iya-iya, namanya Raga. Akan aku inget. Jadi kamu ngapain? Bantuin dia makan, minum, atau melakukan hal lain?" tanya Adel antusias.

"Bukan seperti itu, Cantik. Memangnya dia anak kecil? Lagi pula dia bukan orang yang mudah menerima bantuan, jadi nggak mungkin dia memintaku melakukan hal seperti itu."

"Lah, apalagi yang diperlukan orang buta? Dia memerlukan bantuan kan untuk semua hal. Terus apa dong yang kamu lakukan?"

"Kemarin aku nganterin dia ke kantor, tempatnya bekerja. Awalnya dia menolak sih, bahkan mengusirku untuk pulang."

"Apa? Mengusir kamu? Wah, sombong banget! Kenapa nggak menerima aja sih, buta aja belagu," gerutu Adel kesal.

"Adel! Nggak boleh ngomong gitu! Lagi pula dia buta gara-gara aku, kalau kamu lupa. Sudah sewajarnya kalau dia nggak suka dengan bantuanku."

"Iya-iya, maaf udah ngomong nggak baik. Jangan merengut gitu dong, terus gimana? Kamu bantuin dia kerja? Eh, tunggu. Emang semudah itu boleh bawa orang asing ke kantor? Kok dia main bawa-bawa kamu gitu aja."

"Nggak sampai masuk sih. Dia minta temennya ketemu di parkiran. Pasti dia ngerasa nggak enak kalau masuk dengan kondisi dia sekarang. Yang ada jadi bahan gosip nanti."

"Iya juga sih, trus gimana?"

"Jadi kantor itu milik papanya, kantor cabang gitu. Raga yang mengelola dibantu temen-temennya, jadi ya mereka kerja sendiri di situ."

"Artinya dia mengurus pekerjaan mereka sendiri dan nggak kerja di perusahaan orang lain? Emangnya pekerjaan bidang apa, Ly?

"Semacam perusahaan kontraktor atau developer arsitek gitu kayaknya, aku juga belum terlalu mengerti istilahnya. Dia bekerja sebagai salah seorang arsitek utama di sana," jelas Lily, seketika ingatannya kembali pada raut wajah Raga saat bersama teman-temannya.

"Apa? Arsitek kamu bilang? Dia seorang arsitek, yang merancang desain bangunan kayak gitu?" seru Adel histeris terkejut, matanya membelalak menatap Lily tak percaya.

"Iya." Lily mengangguk dan tersenyum masam. "Jadi kamu bisa bayangkan seberapa bencinya dia sama aku yang sudah mengacaukan hidup dan pekerjaannya."

"Ini benar-benar mengejutkan sih, dan dengan pekerjaannya itu kayaknya aku bisa ngerasain gimana rasanya menjadi buta dan berada di posisinya sekarang, kasian," gumam Adel yang kini menatap Lily dengan pandangan iba.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang, dia nggak akan bisa bekerja kan dengan kondisi sekarang?"

Lily mengedikkan bahunya. "Itu yang aku pikirkan sekarang. Aku jadi semakin merasa nggak nyaman, tapi apa yang bisa kulakukan untuk membantunya bekerja? Aku sama sekali nggak ngerti tentang dunia arsitek atau apa pun."

"Jangan patah semangat, kamu bisa tanya ke ibunya tentang dia. Siapa tahu bisa membantu kamu." Adel tersenyum dan memeluk Lily memberi semangat.

Lalu setelah obrolan singkat mereka, Adel pamit kembali untuk segera pulang lebih dulu.

Sepertinya ini adalah masalah yang cukup serius mengingat kemarin Raga memintanya untuk keluar sebentar saat bicara dengan teman-temannya.

Bahkan di sepanjang perjalanan dia hanya diam dan tidak menjawab saat Lily mengajaknya bicara. Itu sudah cukup membuat Lily tahu ada hal serius yang sedang terjadi.

Jika aku menemuinya dan bertanya, dia pasti akan marah 'kan? batin Lily.

Dia mengembuskan napas pelan lalu melanjutkan kembali aktivitasnya karena sudah waktunya kafe untuk buka.

***

Raga mengembuskan napas kesal berkali-kali. Bagaimanapun dia memikirkannya, tidak ada solusi yang muncul di kepalanya. Masalah yang muncul menambah rasa depresi dan marah dalam dirinya semakin besar, kondisinya yang membuatnya frustasi tanpa ada harapan sedikit pun.

Bagaimana tidak? Sebelum kecelakaan ini dia sedang mengerjakan sebuah proyek cukup besar untuk pembangunan lahan hunian. Ini adalah hal yang sangat diimpikannya sejak dulu. Bahkan dia mampu menularkan semangat itu pada teman-temannya dalam mengerjakan proyek ini. Dan setelah melalui banyak tahap diskusi dengan klien mereka, lalu mengubah beberapa rancangan awal desain sesuai dengan keinginan klien, kini justru semuanya hancur. Diskusi terakhir rancangan, hingga perubahan desain baru. Dialah yang mengerjakannya.

Raga menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dengan pikiran rumit di kepalanya. Apa yang harus dia lakukan untuk memperbaiki keadaan ini?

Seketika pikirannya terarah pada Lily, haruskah dia meminta tolong padanya? Di saat yang sama emosi juga muncul dalam hatinya jika dia mengingat gadis itu. Dialah penyebab keadaannya sekacau ini sekarang.

"Raga, boleh Mama masuk?" Suara sang mama terdengar di balik pintu kamarnya yang tertutup.

"Ya, Ma."

"Kamu baik-baik saja? Sejak kemarin kamu tidak keluar kamar kecuali untuk makan. Apa kamu merasakan sakit atau semacamnya? Mama khawatir." Tangan lembut itu membelai kepalanya.

Hanya dengan itu Raga merasa sedikit tenang, emosi dalam dirinya seolah menguap begitu saja hanya dengan sentuhan sang mama.

"Raga tidak sakit, Ma, hanya saja Raga sedikit resah karena memikirkan pekerjaan. Disandarkannya kepalanya di pangkuan sang mama.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu Nak, di saat seperti ini kamu tidak harus memikirkan hal berat seperti itu. Kamu hanya harus fokus untuk pemulihan sekarang," bisik sang mama pelan, ada sedikit rasa yang berat terselip dalam suara menenangkan itu.

"Beberapa waktu yang lalu Erlangga menghubungi Raga. Dia membicarakan mengenai proyek terakhir yang sedang kami tangani. Raga bahkan sempat melupakan hal itu karena sibuk merutuk dan marah atas kondisi dan keadaan Raga sekarang."

"Nak ...."

"Raga baru ingat setelah Erlangga kemarin menghubungi, bahwa ada yang belum diselesaikan dan itu tanggung jawab Raga. Rancangan layout terakhir dari klien itu, harusnya Raga yang menyelesaikan di malam kecelakaan terjadi. Sekarang semuanya kacau dan Raga tidak tahu harus bagaimana, Ma."

"Tidak bisakah Erlangga dan yang lain mengerjakannya?"

"Tidak Ma, Raga adalah orang yang berdiskusi terakhir dengan klien atas perubahan rancangannya saat itu. Malam itu Raga pulang buru-buru setelah dinner dan casual meeting, mau balik ke kantor ambil berkas yang ketinggalan, tapi akhirnya malah kecelakaan."

"Sayang ...."

"Mama tidak perlu khawatir, Raga akan segera menyelesaikannya."

"Apa yang harus Mama lakukan untuk membantu? Haruskah Papa tahu mengenai hal ini, mungkin Papa bisa membantu."

"Jangan Ma, Raga tidak mau menambah beban untuk siapa pun. Papa sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya. Raga tidak ingin mengganggu."

"Tapi Papa pasti tidak keberatan jika melakukannya untuk kamu."

"Tidak Ma, Raga akan berusaha sendiri."

Mungkin papanya memang bisa membantu, tapi ego Raga tidak mengizinkannya untuk meminta tolong. Kebutaannya sudah cukup membuatnya frustasi, dia tidak ingin keluarganya atau orang lain semakin menganggap remeh dan mengasihani dirinya.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Where stories live. Discover now