Bab 10. Sebuah Penawaran

159 33 12
                                    

.

.
.

Happy reading! 💕

Aku duduk di sofa yang menghadap ke arah jendela, biasanya di sinilah aku menghabiskan waktu untuk menggambar semua ide desain di kepalaku. Kini aku hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apa pun, bahkan lambaian tirai jendela yang tertiup angin maupun pohon mangga yang daunnya berguguran pun tak lagi bisa kulihat. Hanya perasaan terang dari sinar matahari yang menyilaukan saat aku menatap ke arah sana.

Ya, aku masih merasa marah.

Aku masih tidak bisa menerima keadaanku yang sekarang, tak pernah sekali pun aku membayangkan kehilangan salah satu dari indra di tubuhku. Bukan karena aku mengingkari takdir yang telah terjadi, hanya saja aku merutuki kejadian yang menimpaku.

Kenapa harus sekarang?
Kenapa harus aku?

Di saat seharusnya aku bisa membantu Papa, di saat aku bisa mengerahkan semua kemampuanku, di saat aku begitu senang dan bersemangat dengan pekerjaan yang kudapatkan, semuanya malah hilang dalam sekejap mata. Menyisakan aku yang hanya menjadi manusia tak berguna. Aku tidak pernah menyangka akan sesulit ini menjalani hidup tanpa mata.

Aku tahu tak seharusnya aku bersikap seperti ini, tetapi aku harus bagaimana lagi? Aku tak lagi bisa melakukan segalanya sendiri seperti sebelumnya, harus ada orang lain yang membantuku sekarang meskipun aku tidak mau mereka membantuku.

Ya, aku masih egois.

Aku tidak ingin terlihat lemah, bahkan dalam keadaanku yang sekarang, aku tidak ingin dikasihani atau membiarkan orang lain iba padaku karena keadaan ini. Tapi, sekeras apa pun aku berusaha melakukan segalanya sendiri, semuanya akan berubah menjadi berantakan. Aku benci diriku yang sekarang, aku yang tak lagi bisa diandalkan, aku yang kini harus dibantu oleh orang lain.

Ketukan pintu kamar membuyarkan pikiranku.

"Sayang, Mama sudah pulang. Apa yang kamu lakukan di sana? Udara sedang dingin, loh."

Kudengar suara Mama di ambang pintu kamarku dan berjalan ke arahku.

"Hai, Ma. Apa ini sudah sore? Mama sudah pulang, tapi sepertinya ini masih siang hari," jawabku kemudian memutar tubuhku menghadap ke arah sebaliknya dari jendela.

Mama melingkarkan lengannya di bahuku dan mendekapku dari belakang sofa tempatku duduk.

"Ya, ini masih siang. Mama ingin pulang cepat sekarang, Mama pengen ketemu kamu," jawab Mama dengan senyum yang terdengar dari nada bicaranya.

"Aku nggak apa-apa kok, Ma, jangan khawatir."

"Mama tahu, tapi kamu sudah berhari-hari tidak keluar dari kamar. Mama jadi khawatir, bagaimana kalau kita pergi keluar menikmati suasana? Biar kamu nggak bosan di kamar," kata Mama.

Aku terdiam, Mama berusaha mengajakku keluar lagi, "Raga di sini saja, Ma, lagi pula sekarang suasana apa pun tidak memberikan pengaruh untuk Raga. Jadi, sebaiknya aku di kamar saja."

"Jangan berkata seperti itu, kamu tetaplah Raga yang dulu. Kenapa harus merasa seperti itu? Angin dan udara yang segar mungkin bisa membuat suasana hati anak Mama ini sedikit gembira, ya?" ucap Mama yang berusaha membujukku untuk keluar kamar seperti hari-hari sebelumnya.

"Nggak perlu, Ma, Raga nggak apa-apa, kok."

Kudengar Mama menghela napas pelan, lalu melepaskan pelukannya padaku. Sesaat kemudian kurasakan Mama duduk di sampingku.

"Raga, jangan mengurung diri seperti itu. Dengan keadaan yang sekarang bukan berarti kamu tidak bisa menikmati hidup seperti sebelumnya. Mungkin keadaannya memang berbeda, tapi Raga harus bangkit kan, tidak boleh berlama-lama menyesali keadaan seperti ini," ucap Mama lembut, aku tahu pasti aku membuat Mama khawatir dan sedih, tapi aku juga tidak bisa menerima keadaan begitu saja seolah tak ada apa pun yang terjadi.

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora