3. Apartement-Mate

3.4K 487 115
                                    

hi, lovre. happy new year!

sudah bikin wishlist untuk tahun 2023 belum nih? coba drop salah satu wishlist kalian di kolom komentar dong. 🫢

aku agak sedih chapter sebelumnya challengesnya belum terpenuhi. tapi gpp deh, semoga chapter ini bisa terpenuhi hehe. hitung-hitung sebagai bentuk support kalian ke karyaku.

follow instagram beeverse_ untuk info seputar karyaku ya!

challenges: 1,5k view, 400 vote, 100 comments. semoga bisa terpenuhi ya. :)

.

Menghela napas sekilas, mendengar gemericik air hujan seraya memandang tumpukan kardus yang tengah dibawa oleh orang suruhannya ke dalam apartemen, Lilith merasakan pelipisnya sedikit berkedut. Ada hal yang membelit pada isi kepalanya. Berkolaborasi sempurna dengan hawa dingin yang menyapa telapak tangan dan lehernya.

Pening. Rasanya kebohongan yang baru saja terlontar dari bibirnya kepada Hoseok melalui telepon akan menjadi beban untuknya selama beberapa bulan ke depan. "Wanita karier, seumuran denganku. Kau tenang saja, kami akan menjadi teman akrab." Begitulah yang ia katakan beberapa menit lalu melalui telepon. Hoseok memang tak menaruh curiga bahkan ketika Lilith menolak tawarannya untuk membantu Lilith memindahkan barang-barang ke apartemen barunya, tetapi tak dapat dimungkiri jikalau resah masih menjalari benaknya hingga kini.

Setidaknya ini tak akan berlangsung lama. Ia akan mengusahakan diri untuk mengumpulkan dana sebanyak mungkin dan menyewa apartemen sendiri.

Hawa dingin kian menusuk lapisan epidermis kulitnya. Langit yang gelap tertutup awan mendung membuat Lilith melirik jaketnya sekilas, ia rasa kain yang membalut tubuhnya itu kurang kuat untuk menahan hawa dingin sore ini. Lantas dengan segera ia masuk ke dalam gedung apartemen, melangkah menuju unit 607 di mana kini telah menjadi miliknya dan Jeon.

Tatkala sampai di ambang pintu apartemen, maniknya mendapati seorang pria bertubuh jakung tengah membongkar kardus besar bersama beberapa pria lain yang merupakan orang suruhan Lilith. Kemeja putih yang digulung setengah tiang, satu kancing sengaja dibuka, kemudian rambut yang sedikit berantakan. Pemandangan itu membuat Lilith meneguk salivanya. Sosok Jeon benar-benar bersinar di matanya, menonjol hingga rasanya ia sulit mengalihkan pemandangan.

Sejurus kemudian, Lilith masuk ke dalam sana, duduk di sofa seraya memperhatikan pekerjaan para orang suruhannya. Lilith tak perlu melakukan apa pun karena pasti mereka mengerti di mana harus menaruh barang-barang Lilith. Jika nanti ada yang kurang pas menurutnya, ia bisa memindahkannya sendiri.

Berbanding terbalik dengan Lilith yang hanya duduk santai, justru Jeon melakukan semuanya sendiri. Ia tidak membayar orang untuk membantunya membereskan barang-barangnya. Ia terlihat begitu cekatan seakan tak memiliki rasa lelah.

Lilith sendiri tak menawarkan diri untuk membantu Jeon. Rasanya masih canggung. Ia juga tak paham mengenai selera pria itu, takutnya nanti akan salah meletakkan barang, berakhir hilang ataupun rusak. Jadi hingga ketika jarum jam telah menunjuk angka tujuh malam, pria itu masih sibuk menyusun isi lemarinya sendiri. Sementara Lilith berdiri di ambang pintu kamar pria itu seraya memperhatikannya sejenak.

"Kenapa kau tidak menyuruh orang untuk membantumu?" Lilith bertanya. Ia melipat tangannya di dada dengan dahi yang mengernyit. Tidak mungkin Jeon semiskin itu untuk membayar beberapa orang, 'kan?"

Jeon menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menoleh ke arah Lilith. "Aku masih bisa menyelesaikannya sendiri," jawabnya. Kemudian kembali fokus pada kegiatannya.

Want to See My Cat?Where stories live. Discover now