Bagian 2

89 7 0
                                    

Sore menjelang di Kota Pekanbaru, Nadira sibuk membuat tugas kampusnya di salah satu meja makan warung mereka. Sementara Ervi duduk di sebelah Nadira, memainkan ponsel, asyik membalas pesan dari Erwin—kekasihnya.

Hanya ada beberapa pembeli yang datang sejak pagi, itupun hanya membungkus makanan, tidak makan disana. Kejadian tadi dengan Burhan juga sudah mereka ikhlaskan. Percuma, Ayah mereka dari dulu memang seperti itu, suka menang sendiri, tidak peduli dengan kehidupan mereka berdua. Hal yang membuat perceraian kedua orang tua Ervi dan Nadira tidak bisa dihindarkan.

Sang Ibu sudah berada di titik batas kesabaran. Uang yang diberikan Burhan tidak seberapa, gaji laki-laki itu habis untuk kepuasannya sendiri. Lebih menyakitkan lagi, laki-laki itu juga sering digosipkan tetangga dekat dengan perempuan lain, mereka sering bertengkar dan Burhan beberapa kali melakukan kekerasan fisik kepadanya. Jengah dengan keadaan rumah tangga mereka yang tak kunjung membaik, Irma—Ibunya Ervi dan Nadira memilih berpisah, Sekarang mereka masing-masing memiliki keluarga baru. Membuat Ervi dan Nadira tersingkirkan untuk hidup bersama Nenek mereka di Dumai.

Ayah dan ibu mereka bercerai saat Ervi baru kelas lima SD dan Nadira kelas dua. Mereka akhirnya besar bersama nenek karena ibu mereka memilih tinggal di rumah suami barunya—meskipun masih sama-sama berada di Dumai.

Saat tengah asyik berbalas chat di ponselnya, wajah Ervi yang tersenyum-senyum malu membaca pesan chatting dari Erwin seketika berubah saat mendapatkan pesan dari ibu mereka. Senyumnya berubah pias, saat ada kabar bahwa neneknya harus segera dibawa ke rumah sakit.

"Dir ...." lirih Ervi seraya menyikut lengan Nadira yang masih sibuk mengetik beberapa poin dari buku teori.

"Apa, Kak?" tanya Nadira tanpa menoleh kepada Ervi.

"Ne-nenek."

Seketika Nadira melihat Ervi dengan mata menyelidik, ia menelan ludah melihat wajah Ervi yang tampak sangat cemas.

"Nenek kenapa, Kak?"

Ervi tak menjawab, gadis itu tampak menggigit bibir. Padahal tadi ia masih bisa tersenyum membaca chat dari kekasihnya. Mengabaikan kejadian tadi pagi dan segala beban ekonomi yang menghantui mereka. Hati Nadira ikut merasa cemas, ia merebut ponsel Ervi dan membaca pesan dari Ibu mereka.

'Nenek sakit, Vi. Jantungnya kembali kambuh, harus segera dibawa ke rumah sakit. Tapi ibu dan papa tidak punya uang. Kamu bisa kirimkan ibu uang dulu? untuk keperluan rumah sakit, cek ini itu, papa nggak ada uang, dia tidak bisa jualan karena pandemi ini.'

Nadira menelan ludah(lagi), menahan rasa takut yang datang tiba-tiba. Mata gadis itu berkaca-kaca. Lekas ia menghubungi nomor ibunya tersebut. Degup jantungnya sekarang tidak beraturan, pikirannya resah tak menentu menunggu panggilan tersebut dijawab.

"Halo, Bu, nenek kenapa lagi?" tanya Nadira dengan nafas menderu saat panggilan tersebut terhubung.

"Tadi Ibu ditelfon sama tetangga nenek, dada nenek tiba-tiba sakit lagi, Dir. Udah Ibu kasih obat yang ada di rumah, tapi masih sakit," jawab Bu Irma dengan suara tak kalah cemas.

"Lalu kenapa nggak langsung Ibu bawa ke rumah sakit?" tanya Nadira lagi. Ervi di sebelahnya menahan nafas, berusaha menegarkan dadanya yang sesak.

"Ibu nggak punya uang, Nadira. Papa lagi nggak jualan, nggak ngasih ibu uang sama sekali. Simpanan ibu juga nggak seberapa, itupun untuk biaya beli paket sekolah adik-adikmu, belum lagi biaya makan."

"Ya ibu usaha dong, pinjam sama tetangga."

"Ibu udah malu pinjam uang sama tetangga, Dir. Udah numpuk utang ibu."

"Iya tapi nenek keadaannya juga lagi kritis." Suara Nadira bergetar, Ia meremas rambut panjangnya karena frustrasi.

"Ibu pinjam uang kamu sama Ervi dulu, nanti ibu ganti kalau jualan papa kembali lancar."

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Where stories live. Discover now