Bagian 36

40 7 0
                                    

Titik air hujan mulai menetes membasahi Kota Pekanbaru. Di luar sana masyarakat masih banyak yang berlalu lalang. Juga beberapa petugas yang patroli untuk memastikan tidak ada kerumunan. Sebagai upaya pencegahan penyebaran virus yang menjadi pandemi di seluruh dunia. Ervi yang baru saja selesai mandi setelah berpergian dengan Ardan tadi sekarang tengah berdiri melihat titik hujan menetesi kaca jendelanya.

Tangan gadis itu terangkat, menyentuh titik-titik air dari balik kaca. Ia tersenyum getir, mengingat semua ucapan Ardan tadi kepadanya.

"Ternyata orang yang selalu kuanggap hidupnya sempurna, selalu baik-baik saja, tidak ada kekurangan sedikit pun dalam hidupnya, kenyataannya dia juga menjalani kehidupan yang berat. Hanya saja dia tidak pernah mengeluh, menyimpan baik-baik luka hatinya, membiarkannya dan tidak pernah mengungkitnya. Hingga hidupnya bisa terlihat sempurna seperti yang kulihat selama ini."

"Tidak ada cela dalam hidupnya saat pertama kali aku melihatnya. Wajahnya selalu tenang, senyumnya selalu ramah, kata-katanya sungguh bijak dan setiap perbuatannya selalu menunjukkan kebaikan. Sakit dan luka di masa lalunya malah membuatnya jauh lebih baik sekarang, sementara aku?"

"Aku mengeluh, merasa hidup ini tidak adil, membenci orang-orang yang tidak memperdulikanku. Sikapku inikah yang membuat hidupku terasa amat berat sekarang? Apa jika aku seperti Ardan, memaafkan kesalahan ayah dan ibu, melepas rasa sakit dulu dengan lapang dada, tidak mengeluh akan segala masalah yang tengah kuhadapi, apa aku akan jauh lebih baik? apa aku tidak akan stress dan gila seperti ini?" Ervi bertanya-tanya dalam hatinya.

"Mungkin jika aku seperti itu, aku akan sama seperti Nadira, tidak pasrah begitu saja dengan pengunjung warungku yang sepi, tapi berusaha mencari penghasilan lain agar semua beban kami dapat diselesaikan. Juga kami bisa mempertahankan warung ini sampai keadaan kembali pulih seperti sebelum pandemi."

Ervi masih memegang kaca, titik hujan di sana semakin banyak. Hujan di luar juga semakin deras. Hawa dingin perlahan terasa menyergap. Ervi menutup tirai jendelanya, ia beralih, berjalan pelan menuju ranjang Nadira. Sang adik tengah terlelap tidur, wajahnya tampak begitu lelah. Mereka sama, sama-sama lelah memikirkan semua beban kehidupan, sama-sama lelah karena pertengkaran tadi siang yang menjadi beban pikiran dan menguras emosi.

Selimut Nadira yang terbuka ditarik Ervi hingga ke leher adiknya. Mata gadis itu berkaca-kaca. Sungguh ia menyayangi Nadira, adik yang selalu menemaninya dalam kondisi sesulit apapun. Tapi lihatlah yang ia lakukan. Sikapnya selama ini ternyata salah, membuat Nadira menyimpan perasaan tidak suka begitu lama. Ia dibutakan oleh cinta, menganggap Erwin bisa menyelesaikan masalah yang terjadi antara dirinya dan Nadira.

Tapi apa kenyataannya? Nasehat yang diberikan Erwin kepada Nadira saat mereka bertengkar ternyata menjadi beban kebencian di dalam hati sang adik. Kenapa dulu ia begitu egois? tidak mau mendengarkan ucapan Nadira yang berkali-kali mengaku tidak suka kepada Erwin. Bahkan ia diam-diam mengambil uang simpanan mereka untuk dipinjamkan kepada Erwin agar Nadira tidak marah.

Sekarang semuanya baru terasa, dulu ia merasa bahwa hidupnya adalah haknya, ia bebas memilih siapa pun menjadi pasangannya. Terserah Nadira mau suka atau tidak, ia tidak ingin kehidupan pribadinya diganggu sang adik. Tapi sekarang? lihatlah, bahkan untuk masalah pekerjaan Nadira saja ia ingin mencampurinya. Melarang sang adik ini itu, berusaha membujuk Ardan agar mau menjadi hati tempat Nadira bersandar, karena merasa sang adik menyukai laki-laki itu dan yakin bahwa Ardan akan menjaga Nadira dengan baik.

"Kakak egois, Dir. Kakak melakukan yang terbaik untukmu, menjagamu sebisa kakak, tapi kakak malah egois, tidak mau sedikitpun kamu ikut campur dalam kehidupan pribadi kakak. Kalau saja kakak lebih terbuka dan menerima semua keluhanmu akan kehadiran Erwin, mungkin keadaan kakak tidak akan sehancur sekarang. Mungkin kuliah kakak sudah selesai karena tidak perlu membuang waktu untuk laki-laki itu seperti dulu, kita tidak akan kehilangan motor dan tabungan kita tidak akan terbuang sia-sia untuknya."

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Where stories live. Discover now