Bagian 14

45 5 0
                                    

Ervi menatap kepergian Ardan dengan hembusan nafas panjang. Ia juga menggeleng, bertanya-tanya dalam hati, apa sikapnya tadi sudah cukup baik kepada Ardan? Malu sekali jika dia masih bersikap seperti biasa, padahal laki-laki itu sudah banyak membantunya. Mulai dari menjadi langganan baru mereka, meminjamkan uang untuk obat Nenek di Dumai, dan barusan membawa pesanan yang cukup banyak untuknya.

"Apa Kakak baik-baik saja?" suara tanya Nadira terdengar dari arah pintu dapur, ia keheranan melihat sikap ramah Ervi kepada Ardan.

"Kakak yang seharusnya bertanya kepadamu, kenapa kamu meminta Kakak mengantar pesanan dia? bukannya dia sudah dekat denganmu?"

"Aku terlalu memperlihatkan kelemahan kita di depannya, Kak," lirih Nadira.

Ervi memilih duduk di kursi kasir, melihat motor Ardan yang perlahan berjalan, meninggalkan warung mereka. Mata gadis itu lemah, ia juga sama seperti Nadira, tidak nyaman memperlihatkan kelemahan mereka kepada orang yang baru mereka kenal. Apalagi orang itu juga laki-laki.

"Dia sudah tahu seperti apa sulitnya kita sekarang, aku terlalu terbuka sama Bang Ardan karena merasa dia adalah teman untukku berkeluh kesah," lanjut Nadira dengan suara melemah.

Ervi tak menanggapi, ia merebahkan kepala di atas meja kasir, mengembuskan nafas panjang. Masalah terberat yang ia hadapi sekarang bukan tentang Ardan, atau keuangan. Tetapi tentang Erwin yang membuat dirinya resah, hatinya gelisah tak menentu. Nadira yang mengerti dengan keadaan sang kakak memilih duduk di samping Ervi, tangan gadis itu mengusap kepala Ervi dengan lembut, membelai rambut hitam nan indah milik kakaknya secara perlahan.

"Kakak sudah menghubungi Bang Erwin?" tanya Nadira, suaranya pelan sekali, bahkan hampir tidak terdengar, seakan merasa ragu untuk mengungkit masalah tersebut.

Ervi diam, tidak menjawab sama sekali. Membuat Nadira menelan ludah, belaiannya di rambut sang kakak juga berhenti seketika. Apa dia salah bertanya? Sesaat kemudian, suara terisak terdengar perlahan, Ervi hanya bisa menangisi dirinya sendiri. Mengingat lagi saat Erwin membonceng Puja di depan matanya.

Ah, ini bukan hanya persoalan rasa cemburu, karena sang kekasih berduaan dengan perempuan lain. Tapi ini tentang perasaan dan kepercayaan, Erwin berbohong kepadanya untuk bisa menemani Puja ke kampus. Sungguh, itulah yang menyakitkan bagi Ervi, pun juga bagi semua orang, melihat kekasih hati berbohong untuk bisa jalan dengan perempuan atau laki-laki lain.

"Kak ...." lirih Nadira, kali ini tangan sang adik memegang pundak sang Kakak.

"Kakak nggak tahu harus gimana, Dir? Kakak masih sayang sama dia, masa depan yang Kakak bayangkan hanya bersama dia, Dir, tapi sekarang semuanya seakan sirna. Sakit, Dir," jawab Ervi dengan suara gemetar menahan tangis.

Nadira terdiam, tidak bisa berbicara banyak. Ia tidak memahami persoalan seperti ini, karena Nadira sendiri tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Gadis itu membatu, memilih diam, nanti ia akan minta dengan tegas agar Ervi menjauhi Erwin, karena selama ini ia merasa dirugikan oleh Erwin yang sering meminjam uang tanpa diganti sama sekali kepada Ervi.

***

Angin malam terasa begitu dingin, sekalipun ia berhembus pelan, menyelubungi Kota Pekanbaru yang mulai sepi. Saat hari merangkak malam, masyarakat yang beraktivitas di luar rumah juga perlahan berkurang. Apalagi masa pandemi seperti sekarang, hanya aparat yang sibuk di jalanan, berkeliling untuk memberlakukan jam malam. Memaksa tutup para pedagang yang tetap berjualan hingga malam, padahal sudah dilarang. Juga membubarkan kerumunan masyarakat yang masih tetap saja ada di beberapa sudut kota.

Ah, inilah hal rumit di dalam kehidupan. Saat pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan, berupaya memutus mata rantai penyebaran virus, disaat yang bersamaan banyak pekerja harian yang menggantungkan hidup mereka dari usaha sehari-hari, tapi malah dipaksa untuk menutup usaha mereka.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant