Bagian 13

43 7 0
                                    

Ardan masih duduk di salah satu meja pengunjung untuk menunggu, laki-laki itu sibuk membaca email dan mengirim beberapa pesan chat untuk rekan kerjanya di kantor. Sesekali ia menarik nafas panjang melihat beban tugasnya yang sudah menumpuk dan harus ia selesaikan. WFH membuat kerja Ardan tidak maksimal. Komunikasi dengan rekan kerjanya melalui aplikasi chatting tidak terlalu membantu. Sehingga sering sekali ia harus memperbarui laporan berulang kali, memenuhi permintaan pimpinannya di kantor.

Sementara di dapur Warung Ayam Renyah itu, Ervi sibuk menyiapkan beberapa kotak makanan dan memasukkan sayuran serta bingkisan saus ke dalamnya.

"Bang Ardan itu baik ya, Kak," sahut Nadira di sela kesibukan mereka.

Ervi diam tidak menjawab hanya bola matanya yang bergerak, melirik punggung Nadira yang tengah menggoreng ayam crispy.

"Udah minjamin uang buat nenek, jadi langganan baru kita, sekarang Bang Ardan bela-belain bawa banyak pesanan dari kantornya untuk membantu kita," lanjut Nadira yang tersenyum-senyum tipis melihat ayam di wajan.

Tangan Ervi yang tengah membersihkan saus untuk dimasukkan ke dalam kotak makanan seketika membeku. Ia menelan ludah, menoleh tajam ke punggung Nadira yang masih asyik memasak.

"Astaga!" Nadira menepuk dahinya sendiri, "aku lupa, aku siapin air putih dulu untuk Bang Ardan ya, Kak, kasihan dia menunggu lama, Kakak tolong lihatin bentar ayam ini," ucapnya seraya menoleh kepada Ervi.

Seketika Nadira merasa ada yang aneh dengan tatapan sang kakak. Dua kakak beradik itu saling tatap.

"Jadi benar, kamu minjam uang tujuh ratus untuk obat nenek itu dari dia?" tanya Ervi dengan nada menekan.

"Lho, emang kenapa, Kak? kenapa Kakak melihatku seperti itu?" tanya Nadira balas menyolot, ia tidak suka dengan tatapan mata Ervi.

"Kita tidak kenal dengan dia, Dir, jangan sembarangan kamu meminjam uang, kalau dia punya niat jahat gimana?" Ervi meletakan saus yang ia pegang, kali ini ia mendekati sang adik, memegang lengan Nadira yang mulai kesal dengan keadaan mereka.

"Bang Ardan itu baru pindah kerja ke sini dari Batam, dia orang Minang, dari Tanah Datar, ayahnya seorang dosen di Padang, sementara ibunya udah nggak ada." Nadira diam sejenak, menepis tangan Ervi di lengannya, "jadi apa Kakak masih berpikir kalau aku tidak mengenalnya?"

Ervi menggigit bibir, entahlah, apa dia yang terlalu benci kepada Ardan karena kehadiran laki-laki itu membuat Burhan—ayahnya berhasil membawa kabur uang mereka? Mata Ervi melirik ke kuali tempat Nadira menggoreng. Lekas ia meraih spatula, agar ayam crispy yang dimasak Nadira dapat matang dengan sempurna.

"Kamu siapkan minum buat dia, kita harus siapkan ini dengan cepat," ucap Ervi mengabaikan sejenak perdebatan mereka.

Nadira mengembuskan nafas panjang, menenangkan dirinya. Kemudian ia lekas mengambil gelas, lalu menyiapkan air dingin yang ia ambil dari dalam lemari es. Kemudian segera keluar untuk menemui Ardan.

Saat pintu dapur tertutup dan Nadira keluar, meninggalkan bunyi denyitan. Ervi tak kuasa menahan sedih hatinya. Dia sungguh lemah menghadapi masalah kehidupan. Ervi berdesau lirih, suara isak tangisnya terdengar. Merasa malu kepada Ardan yang telah membantunya dan Nadira, tetapi sikapnya begitu sombong dan angkuh kepada laki-laki itu. Ia menangis, menyesali dirinya sendiri.

Sampai detik itu Ervi hanya bisa menjadi gadis lemah, yang mudah hancur saat Erwin jalan dengan perempuan lain. Pun juga akan masalah ekonomi yang ia hadapi, seakan ia tidak mampu lagi menemukan jalan keluar atas masalah itu. Sungguh Ervi belum menemukan jalan untuk lepas dari kekangan masalah keuangannya.

Ervi menangisi hidupnya yang terasa perih sejak kecil. Ia hanya ingin bahagia, mendapatkan kasih sayang ayah dan ibunya dengan sempurna. Kasih sayang yang pada akhirnya ia dapatkan dari Erwin, tapi sekarang yang ia rasakan adalah perih di hati atas kelakuan laki-laki itu. Di saat ia butuh dukungan, menghadapi hutang dan tanggungan untuk biaya kuliah dan sewa warungnya, sang kekasih malah menyakiti perasaannya.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora