Bagian 11

44 7 0
                                    

"Mau apa kamu kesini, ha?" tanya Ervi dengan nada meninggi.

Nadira yang tengah mencuci piring dan gelas bekas Ardan tadi tersentak kaget mendengar keributan di luar. Lekas ia mencuci tangan, mengelapnya dan kemudian keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan Ervi. Sorot mata Nadira menatap bingung kepada punggung Ervi dan wajah Erwin yang tampak pias.

Sejak Erwin masuk ke warung itu, dada Ervi benar-benar terasa sesak. Hatinya terasa tertusuk sembilu, bahkan ia kesulitan untuk menarik nafas. Entahlah, ia masih tidak percaya jika laki-laki yang ia sayangi itu berkhianat. Juga tidak percaya akan kejadian yang tadi ia lihat langsung di depan fakultasnya.

"Aku nggak mau kamu salah paham, Vi, jadi aku buru-buru ke sini setelah mengantar Puja pulang."

"Mengantar Puja pulang?" Ervi berdiri, matanya menatap tajam kepada Erwin, "kamu lebih mendahulukan dia, kamu mengantar dia sementara aku pulang menunggu ojek, berpanas-panasan di luar sana."

"Ervi," potong Erwin dengan cepat, ia berusaha meraih tangan kekasihnya itu, tapi Ervi mengelak, membuang muka dengan air mata yang menetes perlahan, "jangan salah paham, aku hanya mengantarnya, hanya itu."

Ardan di luar menatap wajah sedih Ervi dengan menggelengkan kepala. Bola matanya sendu, melihat air mata gadis cantik itu.

"Aku yang berkorban untuk kamu, bukan dia, kenapa kamu lebih mendahulukan dia dari pada aku, ERWIN?"

"Jangan bahas masalah berkorban, kalau kamu ikhlas sama aku tak usah menyinggung tentang apa yang kamu berikan."

"Aku mengatakan itu agar kamu tahu diri! Tahu siapa kekasihmu, tahu siapa yang harus kamu utamakan," maki Ervi dengan perasaan meluap-luap. Nadira berdiri terpaku di belakang kakaknya, mencoba memahami apa yang terjadi antara Ervi dan Erwin, "Aku yang memberimu uang sekalipun aku dan Nadira juga susah, motor kami ditarik sama leasing, ponsel Nadira terpaksa dijual dan sekarang kami juga berhutang banyak, tapi aku masih tetap membantumu dengan segala kekuranganku. Sadar diri, Win, aku yang harus kamu utamakan, bukan dia."

"OH, segitu itu harga dirimu rupanya? apa dengan semua pemberianmu itu aku harus menjadikan kamu segala-gala?" balas Erwin yang terbawa kesal karena Ervi membahas pengorbanan gadis itu untuknya. Seakan menghakimi bahwa dia tidak bisa apa-apa.

"Astaga, Win. Segitunya kamu merendahkan aku demi membela perempuan itu?" lirih Ervi dengan perasaan teriris perih.

"Aku tidak membelanya, Vi, aku sudah menjelaskannya kepadamu, aku hanya mengantarnya, lagi pula aku sudah berjanji akan menemanimu untuk bimbingan besok. Kenapa kamu tadi masih pergi juga ke kampus?" Erwin balik bertanya, ia kembali berusaha memegang tangan Ervi, namun gadis berambut sebahu itu menepisnya dengan kasar.

"Jika aku tidak ke kampus tadi, pasti kamu sudah keenakan jalan sama dia," Ervi masih bersuara lantang, tak terima akan perlakuan Erwin di belakangnya.

"Cukup, Vi, aku kira kamu bisa dewasa dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, tapi kenyataannya tidak sama sekali." Erwin berbalik badan, sedari tadi ia mengabaikan kehadiran Nadira di belakang Ervi. Sekarang ia tidak ingin memperpanjang masalah di depan Nadira. Tak nyaman jika adik kekasihnya itu melihat pertengkaran mereka.

"Dasar pengecut kau, Win!" bentak Ervi saat Erwin bergegas keluar dari warung mereka.

Rasa marah Ervi yang menggebu-gebu seketika berubah menjadi tangisan air mata. Ia terisak, menutup mulutnya dengan tangan. Sesak dadanya semakin terasa. Benar, kekasihnya itu mengutamakan perempuan lain daripada dirinya. Entahlah, perih sekali yang dirasakan Ervi. Pikirannya sudah kacau memikirkan keadaan keuangan mereka yang amat sulit, belum lagi masalah tugas akhir dan kesehatan neneknya di Dumai. Sekarang Erwin malah menggoreskan rasa kecewa yang teramat dalam di relung hatinya.

Nadira melangkah, memeluk kakaknya dari belakang. Sungguh hatinya sakit melihat Erwin bersuara tinggi kepada Ervi. Ah, tapi ia juga tidak ingin ikut campur dalam hubungan kakaknya dengan Erwin. Toh itu masalah asmara sang kakak yang tidak bisa ia masuki.

Di luar warung tersebut, Erwin yang baru saja keluar dari pintu kaca melihat Ardan yang baru saja menghidupkan motornya, lalu bergegas pergi. Mata laki-laki itu melotot, seakan mencurigai sesuatu. Siapa laki-laki itu? Kenapa belakangan ia sering melihat laki-laki itu di warung Ervi? Temannya Ervi? atau Nadira? Erwin mendengus panjang.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora