Bagian 25

39 5 0
                                    

Cahaya kuning menghiasi langit sore Pekanbaru hari itu. Suasana jalan raya cukup ramai, walaupun tidak seramai sebelum pandemi datang merubah banyak hal. Motor-motor sibuk berlalu lalang, juga mobil yang sesekali membunyikan klakson dengan keras—karena banyak motor yang menyalip sembarangan.

Jalanan benar-benar sibuk setiap sore, saat jam pulang kerja sudah datang. Hanya saja pandemi membuat kesibukan jalan jauh berkurang. Tidak ada lagi orang-orang yang tumpah ruah ke jalan untuk menjemput anak ke sekolah. Juga para mahasiswa yang suka jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat nongkrong mereka. Ervi memandang kesibukan jalan dengan hembusan nafas panjang. Ia benar-benar berharap semuanya kembali seperti semula, agar warungnya kembali ramai dan semua hutangnya dapat segera lunas.

Gadis itu memutar badan, melihat ke arah gedung kos-kosan bercat orange—kos yang ia yakini tempat Ardan menyewa—seperti kata laki-laki itu tadi pagi. Ia celingak-celinguk melihat ke dalam. Tadi Ervi sudah menanyakan Ardan ke salah satu penghuni kos-kosan itu, dan orang itu sudah memanggil laki-laki yang ia cari tersebut.

Saat Ervi melihat ke lantai dua gedung tersebut, Ia melihat sosok laki-laki yang tengah memandang ke arahnya. Ervi membalas pandangan laki-laki itu dengan penuh rasa kekhawatiran. Laki-laki bermasker hitam itu kemudian bergerak, ke sisi lain. Ia bergegas menuruni tangga, kemudian menghampiri Ervi yang mencarinya.

Ervi menatap datar kepada Ardan yang berjalan mendekat. Ia menelan ludah, apa benar Ardan dipukuli oleh Erwin? Ah, sungguh ia merasa bersalah jika itu adalah kenyataannya.

"Kamu mencariku, Vi?' tanya Ardan yang tersenyum dari balik masker yang ia kenakan. Ia membuka sedikit pintu gerbang dan berdiri tepat di depan Ervi yang masih memandangnya.

Bibir gadis itu tampak bergetar—seperti hendak menangis. Matanya juga berkaca-kaca, membuat Ardan kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Vi, ada apa? Apa terjadi masalah?" tanya Ardan.

Ervi tak menjawab, ia mengangkat tangan, hendak melepas masker Ardan. Tangannya gemetar, perlahan mendekat ke wajah Ardan. Hampir saja ia meraih masker hitam yang selalu dipakai Ardan itu. Namun Ardan lekas menahan tangan Ervi, ia tidak mau gadis itu melihat luka memar di wajahnya.

"Vi ...."

"Kenapa kamu memakai masker?" tanya Ervi, ia menepis tangan Ardan seraya membuang muka.

"Ini protokol kesehatan."

"Jangan berlebihan, Ardan! Aku tahu bukan itu maksudmu memakainya." Ervi kembali menoleh, sekalipun ia selalu melihat Ardan sangat mematuhi protokol kesehatan—memakai masker dan selalu mencuci tangan setiap masuk ke dalam warungnya.

"Lalu apa? Bukannya masker ini anjuran pemerintah?" Ardan beradu argumen.

"Ardan!" bentak Ervi dengan nada meninggi. "Jangan membuatku merasa bersalah kepadamu. Jadi tolong, jujur kepadaku apa yang terjadi."

Ardan terdiam, mereka hening untuk beberapa saat. Menyisakan suara kendaraan yang terus berlalu lalang di jalan raya. Mata mereka saling bertemu, sorot mata Ervi penuh harap, agar Ardan bercerita jujur kepadanya tentang perkataan Erwin. Sementara Ardan memandang Ervi dengan keheranan, seakan tidak memahami apa maksud gadis di depannya sekarang.

"Dan, apa kamu pernah bertemu Erwin tanpa sepengetahuanku?" tanya Ervi dengan dada yang terasa bergetar. Sungguh ia berharap semua perkataan Erwin itu adalah kebohongan saja.

"Aku bertemu banyak orang setiap hari, mungkin saja aku bertemu dengan dia tanpa aku sadari." Ardan menaikkan kedua bahunya, seolah tidak mengetahui apa-apa.

Ervi mengembuskan nafas panjang. "Apa aku boleh meminta sesuatu darimu?"

"Tentu, apa kamu mau berbagi cerita denganku? Itu akan sangat menyenangkan, aku senang sekali mendengarkan orang lain bercerita." Ardan tersenyum manis—meskipun tak terlihat karena masker yang ia pakai.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ