Bagian 18

35 5 0
                                    

Ardan baru saja turun dari lantai dua gedung kosnya. Hari sudah beranjak sore, saatnya untuk Ardan mencari makan malam. Sudah dua hari berlalu sejak memutuskan untuk tidak berlangganan lagi di warung Ayam Renyah milik Ervi dan Nadira. Ia lebih memilih untuk membeli makanan di tempat lain.

Seminggu ini berlalu seperti biasanya bagi Ardan. Tidak ada yang berubah sama sekali, ia masih bekerja WFH dan sesekali ke kantor. Ia juga sering jalan-jalan keliling Kota Pekanbaru. Mengunjungi banyak tempat untuk mengisi waktu. Namun tidak seminggu ini tidak biasa bagi Nadira, dia seakan kehilangan teman, tempatnya untuk bisa berbagi masalah. Apalagi dua hari ini ia juga dibebani pikiran untuk pembayaran sewa warung Ayam Renyah-nya. Gadis itu sekarang tengah berdiri di depan gerbang kos Ardan. Mencari kabar tentang laki-laki itu. Memastikan bahwa Ardan baik-baik saja.

Ardan baru menuruni satu anak tangga, Ridho yang datang dari lantai bawah tersenyum memandang temannya tersebut.

"Mau kemana Lo, Dan?" tanya Ridho dengan langkah cepat menaiki tangga.

"Jalan-jalan seperti biasa, sekalian cari makan malam, Lo mau nitip?" tawar Ardan, ia juga turun dengan langkah cepat..

"Boleh, Gue titip martabak manis, sama jus mangga, entar Gue bayar."

Ardan mengangguk, "Ok, sip!"

"Oh, ya, ada perempuan yang mencari Lo di gerbang," sahut Ridho di ujung tangga lantai dua. Ardan seketika berbalik badan, ia melihat Ridho dengan dahi berkerut.

"Siapa?"

"Dia bilang teman Lo."

Ardan berpikir sejenak, menebak-nebak siapa perempuan itu.

"Oh, thanks ya," ucap Ardan, ia berlalu pergi dengan penuh rasa penasaran.

Ardan melangkah cepat menuju gerbang seraya memakai maskernya. Melewati motornya yang terparkir di depan tangga tempatnya turun. Mata Ardan seketika menyorot pada gadis berambut selengan, menghadap ke jalan yang tidak terlalu ramai sore itu. Ardan segera menghampiri gadis itu, mencoba mengingatnya.

"Permisi," panggil Ardan saat melewati gerbang.

Seketika Nadira menoleh, ia tersenyum senang melihat Ardan dalam keadaan baik-baik saja.

"Bang Ardan, apa kabar?" sapa Nadira dengan kikuk.

"Eh, Nadira, ada apa mencariku kemari?" tanya Ardan yang heran melihat gadis itu.

Nadira menggaruk tengkuknya, gadis itu terlihat grogi—karena pertemuan terakhirnya dengan Ardan. Jika saja Ervi tidak terang-terangan mengatakan bahwa Ardan mendekatinya, mungkin ia akan bisa bersikap seperti biasa. Sekarang ia malah seperti gadis remaja yang malu-malu kucing bertemu pujaan hati.

"A-anu, Bang, itu, Abang kok nggak pernah datang lagi ke warungku? Apa masakanku nggak enak ya?" tanya Nadira melawan rasa gugupnya.

"Eh, bukan itu, Dir." Kali ini Ardan yang menggaruk kepala, bingung seperti apa harus menjelaskannya kepada Nadira. "Apa Kakakmu nggak bilang sama sekali kepadamu, Dir?"

"Bilang apa, Bang?" tanya Nadira menyelidik.

Ardan mengembuskan nafas panjang. Ia sudah menduga bahwa Ervi tidak akan mengatakan apapun kepada Nadira bahwa ia tidak akan membeli makanan lagi di warung mereka.

"Bukan apa-apa, Dir. Kamu sibuk sore ini?" Ardan mengalihkan pembicaraan mereka.

"Hmmm, nggak sih, aku ke sini karena khawatir, Abang udah nggak pernah ke warungku lagi, aku pikir Abang sakit atau lagi ke luar kota gitu, atau masakanku yang udah nggak enak lagi," ungkap Nadira dengan polos.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang