28

1.5K 137 2
                                    

"Saya kaget waktu ada notifikasi email pembelian tiket kereta yang masuk."

Tita tidak menjawab ucapan Arga. Saat ini mereka sudah berada di dalam mobil setelah peristiwa di mana Arga bertingkah seperti pahlawan dengan menggendongnya yang terjatuh di stasiun sana, menuju ke sini.

"Saya tau kalau saya bicara panjang lebar, saya hanya akan semakin menyakiti kamu. Jadi untuk sekarang saya gak akan tanya apapun tentang alasan kamu sembunyi, saya cuma ingin ngajak kamu pulang ke rumah."

Tita menggeleng cepat, "how dare you to ask that."

Lama terjadi keheningan di antara mereka, sebenarnya Arga hanya sedang menahan dirinya agar tidak segera memeluk Tita untuk meluapkan segala perasaan rindu dan cemasnya selama ini.

"Fine, saya antar kamu pulang ke manapun kamu tinggal sekara—"

"Gila ya lo! Lo itu toxic banget tau gak! Lo bikin gue hidup bahagia, serasa kayak mimpi! Tapi dalam semalam, lo bisa berubah jadi orang yang paling bikin gue hancur sampe pengen mati! Dan sekarang.... Sekarang lo mau apa sampai nyariin guei ke sini? Hah!! Masih belom puas ya lo kalo belum ngeliat gue mati? LEPASIN TANGAN GUE BANGSAT!!"

Arga tidak bisa menjawab karena mulutnya mendadak terkunci. Benar, sebesar inilah dia sudah menghancurkan Tita dengan ulahnya sendiri.

"Saya tau apa yang saya lakukan gak termaafkan. Tapi—"

"TAPI APA? LO MAU GASLIGHTING GUE LAGI? MAU BILANG GUE INI BELAGAK SOK PALING MENDERITA DI DUNIA INI LAGI? IYA KAN?"

"Saya cuma ingin kamu tau kalau Ganish kangen kamu."

Perempuan itu terbungkam kali ini. Tita mengusap air matanya yang sudah berkumpul di pelupuk sejak tadi. Ia tidak sudi menangis dan terlihat lemah di depan orang yang telah menginjak-injaknya.

"I think this is also the best for her," ucap Tita setelah beberapa saat, kemudian kembali menggendong ransel besarnya dan membuka pintu mobil. Walau berat, ia harus memutuskan untuk tidak akan pernah kembali pada orang yang paling menghancurkannya, ia tidak mau suatu hari nanti terbangun lagi dan menyadari kalau semua kebahagiaan itu memang hanyalah semu. Because in the end of the day, she's only have herself.

***

Pagi-pagi sekali Tita bangun dan mandi, ia menguncir rambutnya di depan cermin berukuran tiga puluh kali dua puluh centi, yang hanya mampu menampilkan wajahnya hingga sebatas bahu. Kemudian ia menggendong ranselnya dan menghela napas panjang. Ia lapar, tapi demi perencanaan keuangan yang matang sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap nanti, Tita sudah bertekad memangkas pengeluaran harian dengan hanya makan dua kali sehari. Lagipula, bagus juga untuk program diet.

Ia naik berjalan kaki dari kosan tempatnya tinggal sampai ke depan gang, kemudian bermaksud menyetop angkot sengan tujuan stasiun.

Tita mengerutkan keningnya, sudah hampir sebulan ia menetap di kota ini, tapi ia belum mengerti sistem angkutan umum di sini.

"Mau ke mana neng?" Tanya supir angkot yang pertama kali menepi walau Tita tidak bermaksud menyetop angkot dengan jurusan ini.

"Stasiun Pak."

"Yuk, naik aja. Saya anter sampe stasiun."

Nah, inilah yang Tita masih belum mengerti. Angkot di sini layaknya supir taksi pribadi yang mau saja antar penumpang sesuai request. Padahal ongkosnya tetap jauh dekat: empat ribu. Tita bingung, tapi diam-diam menikmatinya. Karena murah, tentu saja.

"Oke Pak." 

Kakinya melangkah naik dan masuk ke dalam angkot yang sepi. Tita melirik jam di pergelangan tangannya untuk merencanakan jadwalnya hari ini.

sore nanti, ia akan menyelesaikan urusannya di daerah Jambu Baru, dan kalau kereta tidak terlambat datang, ia akan sampai lagi di sini nanti malam sebelum pukul delap—

Tita hampir terjungkal ke depan. Angkot yang ia tumpangi baru saja mengerem mendadak dan ia penasaran akan apa yang terjadi di depan sana.

Mobil berwarna hitam dengan plat familiar terparkir sembarangan menghalangi angkot dan menjadi penyebab kecelakaan yang hampir terjadi tadi. Kemudian Arga muncul dari sana, tubuh bagian atasnya menunduk dan menjulur masuk ke dalam angkot  untuk menarik Tita keluar dari sana.

"Apa-apaan nih?!"

Tita menarik tangannya di tengah pandangan orang-orang yang ramai di sekitar mereka. Sebelum membawanya masuk ke dalam mobil Arga sempat berucap pada si supir angkot seraya mengulurkan kartu namanya, "Maaf ya Pak, kalau ada kerugian silahkan hubungin nomor saya ini untuk minta ganti rugi."

Kini dirinya dan Arga sudah berada di dalam mobil dan Tita menyadari lelaki ini masih berpakaian sama dari kemarin. Arga melajukan mobil dengan cepat di jalanan. "Now i know, and I'm not going to let you do whatever you're planning to do."

"Ngomong apa sih?"

"FAKING A DEATH IS A CRIME TITA!!"

Tita tercekat, bagaimana bisa rahasianya yang ia tutupi selama ini terbongkar begitu saja?

Dan tiba-tiba saja Arga sudah menepikan mobilnya dengan sembarangan. "Saya sudah tau semuanya, termasuk rencana kamu untuk menetap di negara lain setelah berusaha memalsukan kematian. It's make sense, melihat riwayat perjalanan kamu di sekitar laut akhir-akhir ini. Tita.... please—"

"betul, memang berencana memalsukan kematianku dan aku bakal pergi ke negara yang gak punya perjanjian ekstradisi sama Indonesia lewat jalur laut kayak imigran gelap pada umumnya! Puas?"

Arga menatapinya dalam diam, Tita merasa lelaki itu sedang menahan dirinya untuk tidak mengamuk karena urat-urat di sekitar pelipis dan lehernya terlihat begitu jelas, belum lagi matanya yang memerah. "Biar saya yang menjauh dari hidup kamu, jadi kamu gak perlu lakukan itu semua hanya untuk kabur dari saya. Saya cukup tau diri untuk tidak meminta kamu kembali hidup sebagai isteri saya."

"..."

"But you have to keep living as yourself, Tita. Setelah ini kamu gak perlu bersusah payah mencari nafkah untuk hidup. Kita gak punya perjanjian pra-nikah, harta kita tidak terpisah. Begitu cerai, setengah harta saya akan jadi milik kamu. Tolong terima itu walau masih belum cukup untuk membayar semua kejahatan saya ke kamu."

"...."

"Saya janji gak akan usik hidup kamu lagi. Tapi saya mohon, jangan pergi sejauh itu."

Karena Arga takut jika Tita benar-benar pergi. Arga takut suatu hari nanti perempuan itu akan benar-benar hilang bagai di telan bumi. Arga takut ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi.

"Oke, aku gak akan ke luar negeri."

Arga tidak sadar tengah menghela napas lega, tapi napasnya kembali tercekat kala Tita kembali melanjutkan, "But i don't want your fuckin money. Dan aku akan tetap di sini. Got it?"

"..."

"And.... give me two years. Keep it a secret that I'm still alive. After two years, I don't care."

TitaniumWhere stories live. Discover now