Episode 3

35 9 1
                                    

Setelah cuplikan itu berakhir, Mey bangkit sambil sesegukan dan kakinya perlahan berjalan menghampiri cermin besar di depannya. Ia memperhatikan bentuk tubuh dan wajah yang kini dihiasi tepung dan memar di seluruh wajahnya, kemudian ia pun memperhatikan penampilannya di cermin dari bawah sampai atas. Ia sadar dengan penampilannya yang cupu, gendut dan jelek, namun tidak sepantasnya mereka melakukan penyiksaan secara lahir maupun batin seperti ini padanya.

"Arghhhhhh!"

Seketika saja emosi meluap dengan begitu mudah, ia berteriak seperti manusia yang sudah kehilangan kewarasannya, ia menangis dan merintih. Hatinya begitu tercabik, maka ia pun langsung mengekspresikan kemarahannya dengan memecahkan cermin yang berada di depannya dengan cara memukul dengan satu tarikan menggunakan satu kepalan tangan, hingga akhirnya tangannya pun mendarat di cermin itu sampai retak serta pecah berkeping-keping, sementara tangannya langsung mengucurkan darah akibat serpihan kaca yang kini telah porak-poranda, sama seperti apa yang batinnya rasakan saat ini.

Brankkkk!

Mey sama sekali tak peduli jika darah itu menetes ke lantai, ia tak peduli dengan rasa sakitnya dan ia tak peduli dengan kondisi kamarnya yang dipenuhi serpihan kaca. Ia berteriak lagi seraya mengacak rambutnya frustasi, menarik selimut, sprei, bantal dan guling hingga berantakan. Serta merobek bantal hingga kapasnya bertaburan dimana-mana.

Usssshhhh...

Tubuhnya meluruh ke lantai dan kemudian ia pun meringkuk dibawah lantai seraya memeluk lututnya atau mungkin lebih tepatnya memeluk dirinya sendiri, dengan diiringi suara sesegukan diantara sisa-sisa kapas bantal yang berterbangan.

"Kenapa aku jelek, kenapa aku gendut dan cupu, kenapa?!" Mey bertanya pada dirinya sendiri disela isak tangisnya. "Apa aku nggak akan pernah bisa berubah menjadi gadis cantik? Apa mereka akan selamanya membenciku? Aku juga ingin dihargai oleh mereka, aku pengen punya teman, aku ingin bahagia dan aku nggak mau terus-terusan merasakan ketakutan seperti ini setiap hari." kali ini ia hanya bisa berbicara dalam batin seraya menikmati setiap tangisan yang ia curahkan. Setidaknya dengan begini ia akan merasa jauh lebih baik.

Hingga tanpa sadar Mey kelelahan, matanya terpejam untuk beberapa saat. Dan saat ia membuka matanya kembali, ia merasakan bahwa tubuhnya kini tengah berbaring di atas kasur. Padahal seingatnya tadi ia tengah tertidur di bawah lantai.

Ia mencoba bangun dan kemudian duduk di tepi ranjang lalu ia melihat suasana kamarnya sangat begitu rapi, padahal sebelumnya jauh lebih berantakan bak kapal pecah, dan bahkan cermin yang telah ia pecahkan tadi rupanya masih berdiri disana dengan keadaan yang masih utuh.

Dahi Mey mengernyit kebingungan, menapa semuanya malah terlihat baik-baik saja? Bahkan tempat tidurnya pun sangat rapi, jadi apakah tadi ia bermimpi setelah sepulang sekolah? Padahal rasanya kemarahan itu benar-benar terjadi. Ia malah menjadi terheran-heran sendiri, hingga pada akhirnya ia pun memutuskan untuk berganti pakaian karena ia masih mengenakan seragamnya.

Dan saat ia hendak mengambil pakaian di lemari, ia pun melintas di depan cermin. Namun ia merasakan suatu keanehan. Hingga akhirnya ia pun mengurungkan niatnya untuk mengambil pakaian dan ia memilih untuk kembali ke depan cermin dan berdiri di hadapan cermin itu, sampai akhirnya ia benar-benar terpaku dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Seketika saja bibir Mey menganga, matanya melotot karena tak menyangka dengan apa yang baru saja ia lihat, ia melihat transformasi yang terjadi pada dirinya. Sungguh tak dapat dipercaya, apa semua ini adalah keajaiban? Ia memperhatikan tubuhnya dari bawah sampai ke atas dan semuanya benar-benar terlihat sempurna. Tubuhnya langsing sempurna, rambut kepangannya berubah tergerai indah dan bahkan ia bisa melihat sekitar tanpa bingkai kacamata yang besar itu.

ZUARENZ GALAKSAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن