Episode 4

34 9 4
                                    

Damar yang baru saja pulang berjualan sayur dan saat itu ia mendengar suara Mey–putrinya tengah menangis di dalam kamar, mendengar hal itu tentu membuat Damar khawatir lalu dengan cepat ia pun langsung mengetuk pintu kamar putrinya seraya memanggilnya berulang kali namun tak ada sahutan sama sekali saat ia memanggilnya.

"Nak, buka pintunya!”

Tok ... Tok …

Tok ... Tok …

Karena tak ada jawaban dari dalam maka Damar pun langsung menggerakkan handle pintu kamar putrinya, namun sepertinya pintu itu dikunci dari dalam. Ia pun semakin khawatir dan ia pun terus mengetuk-mengetuk pintu kamar putrinya itu dan berusaha membujuknya agar keluar dari dalam kamar.

"Nak, buka pintunya sebentar saja. Keluar dulu Ayah baru saja pulang, apa kamu nggak ingin menemui Ayah?"

Mey memang tinggal hanya bersama sang Ayah, ibunya sudah meninggal sejak dari ia masih duduk di sekolah dasar. Dan tentu saja bagi Mey hal itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk ia lalui semenjak ia ditinggal sang Ibu.

Setelah membujuk berulang kali, namun Damar sama sekali tidak mendapatkan respon apapun dari putrinya dan karena hal itu tentu saja membuatnya sangat cemas. Dan saat Damar mengintip suasana kamar Mey melalui lubang kunci, ia melihat putrinya seperti akan melakukan aksi gantung diri. Kaki nya berdiri di atas kursi sementara tali tambang pramuka itu sudah berada di atas kepalanya.

“Nak! Buka pintunya, Nak!" Damar berseru panik dengan sepasang matanya yang terbelalak, sementara tangannya tak berhenti menggedor-gedor pintu.

Damar tak ingin semua hal buruk terjadi pada putrinya dan tanpa berpikir panjang ia pun langsung mendobrak pintu kamar putrinya dengan sekuat tenaga.

Brakkk!

Setelah berhasil mendobrak pintu, Damar pun langsung loncat untuk meraih tubuh putrinya hingga mereka berdua jatuh ke lantai. Damar menangis sambil memeluk Mey, namun putrinya mencoba untuk berontak dengan tangisannya yang sangat begitu histeris.

"Lepaskan Mey, Yah! Lepaskan, biar aku mati aja! Aku udah nggak sanggup lagi menahan semua derita yang aku alami!" Mey mencurahkan semua kesedihannya selama ini sambil sesegukan, sebelumnya ia tak pernah menceritakan apapun pada sang Ayah. Ia mencoba terus berontak namun rengkuhan sang Ayah sangat begitu kuat.

"Jangan, Nak, jangan! Tolong jangan seperti ini. Ayah nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu adalah separuh hidup Ayah dan kalau kamu pergi Ayah bagaimana? Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu melakukan semua ini? Dan kenapa tubuhmu penuh tepung dan ini wajahmu memar? Tanganmu juga terluka? Sebenarnya ada apa, hah?!" tanya Damar begitu panik dan khawatir seraya menatap wajah putrinya dengan nanar.

Sementara Mey masih tak kuasa menahan segala perihnya, ia hanya bisa menangis dan menangis tanpa berkata apapun.

"Cerita sama Ayah!" pinta Damar seraya merangkum kedua pipi putrinya dan membiarkan air mata putrinya jatuh membasahi tangannya.

Mey menggeleng samar, ia tidak yakin jika ia harus bercerita tentang semuanya. Tentang bully yang terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Ia takut sang Ayah panik dan menjadi beban pikiran. Tapi tetap saja ia tak punya pilihan lain, karena sang Ayah terus-menerus mendesaknya untuk bercerita.

"Bilang sama Ayah," desisnya disela isakan, sungguh ia tak kuasa melihat betapa menyedihkannya putrinya saat ini.

Mey menghela nafas berat, rasanya sangat sesak. Seakan ia sudah tak sanggup lagi menahan beban itu sendirian.

"Aku minta maaf, Yah." cicit Mey sambil tertunduk rapuh.

"Ayah mohon jangan ada yang kamu sembunyikan dari Ayah, lebih baik kamu katakan semuanya dengan sejujurnya, sebenarnya ada apa dan kenapa kamu ingin melakukan semua ini?" tanya Damar yang tak kuasa menahan derai air matanya, seraya  menatap manik mata putrinya itu yang seperti tersimpan banyak luka di dalamnya.

ZUARENZ GALAKSAWhere stories live. Discover now