Eps. 6

72 10 0
                                    

Brahh!!

Brushh!!

Itu adalah bunyi dari kepalaku yang sengaja kumasukan ke dalam bak kamar mandi berkali-kali. Aku tengah berusaha menyadarkan diriku sendiri untuk segera bangun dari mimpi buruk ini. Tak hanya itu, aku juga berkali-kali melukai lenganku agar aku sadar.

Rasanya sakit. Tapi tidak sesakit saat aku belum terbiasa dengan rasanya.

Aku masih berada di tempat yang sama.

Mayat itu juga masih ada di sana. Tergantung dengan leher yang robek.

Tidak.
Aku masih hidup.

Tapi kenapa malah ada tubuhku yang menjadi mayat di sana!?

Ya. Mayat itu adalah aku! Aku yang tergantung di sana! Bahkan saat aku masih bernapas masih hidup tapi kenapa bisa ada mayatku yang tergantung!?

Ah, kejadian pada beberapa malam yang lalu. Aku ingat dengan bagaimana seseorang tiba-tiba datang menerobos pintu apartemenku dan memotong tali tambang dari leherku. Aku jatuh. Dan ia terus berteriak memarahi kebodohanku. Aku selamat. Meski aku tidak bisa ingat dengan bagaimana rupa si pria yang telah menggagalkan aksi bunuh diriku itu.

Aku selamat!

Tapi kenapa malah ada mayatku di sini!? Bahkan disaat aku masih hidup!? Kakiku masih menapak di bumi!

Zinggg!!

Telingaku berdenging. Rasanya membuat kepalaku sakit.

"Marsha!" Suara panggilan seseorang disertai dengan ketukan pintu. "Jika kau ada di dalam tolong buka pintunya! Marsha! Ayah ingin bicara denganmu!"

Brengsek! Kenapa ia datang disaat seperti ini!?

Sialan.

Brak! Brak! Brak!

Dia menggebrak pintu rumahku. Apa dia berusaha untuk membobolnya?!

Tidak bisa kubiarkan aku harus melakukan sesuatu.

Bruk!

Sebuah koper entah berasal dari mana langsung terdorong hingga menabrakkan pintu kamar mandi yang tidak kukunci. Koper yang sama dengan yang kulihat disuatu tempat terasing.

Suara gedoran pintu tiba-tiba berhenti.

Srak!

Kertas itu lagi. Tak perlu kupungut. Aku sudah hapal tulisannya.

Aku mendekati koper itu. Warnanya hitam usang. Seperti koper model lawas. Seketika sekujur tubuhku merinding membayangkan ada seseorang yang teronggok di dalamnya. Aku penasaran. Kusentuh ujung sletingnya dan kutarik untuk membukanya. Seketika bau karat dan pesing menguar. Aromanya tidak terlalu kuat. Jadi aku bisa sedikit menahannya.

Begitu koper itu kubuka, orang yang tadi berusaha membobol pintu apartemenku meringkuk disana dengan tubuh yang terpotong-potong. Darahnya seketika meluber mengotori lantai.

"Ckh! Sampai akhir hidupmu pun kau tetap menjadi seorang bajingan sialan." ucapku dengan mencibir mayatnya. Katakanlah aku anak yang durhaka. Tapi dia, sampai kapanpun tidak akan pernah kuanggap sebagai seseorang yang pernah membuatku ada. Hanya Tuhan. Tuhan yang membuatku ada di dunia ini. Bukan dia si brengsek yang telah tewas secara mengenaskan ini. Ah, persetan dengan siapa yang telah membuatnya seperti ini. Aku tidak peduli.

Aku menutup kembali koper itu dan menggereknya keluar unit. Aku kembali masuk dan turut mengambil (ini masih aneh untukku) mayatku. Aku menutupinya dengan mengisolasinya seperti mumi. Aku punya stok lakban satu lemari penuh. Tidak sia-sia aku selalu membelinya setiap hari. Ada seratus lakban menyeliputi tubuh yang kubuat meringkuk itu.

Setelah itu, kumasukkan kedalam koper hijau milikku sendiri. Aku membawa dua koper itu ke ruangan paling ujung didekat tangga. Aku melempar keduanya ke dalam sana lalu menguncinya kembali.

"Bawa aku sekarang. Aku akan mencari keberadanmu." ucapku pada kertas yang ada dibawah kakiku.

Suara musik yang sangat kencang tiba-tiba memenuhi telingaku. Aroma alkohol tercium sangat kuat. Tampaknya ini adalah sebuah club malam.

Bug!

Bag!

Dug!

Di tengah lantai dansa. Ada seorang laki-laki yang dihajar. Tapi orang-orang disekitarnya tidak mempedulikan hal itu. Semua orang sibuk dengan tariannya masing-masing. Bahkan melihat kearahnya saja tidak. Hanya aku yang melihatnya. Ia meringkuk memegangi kepala dan perutnya. Wajahnya penuh dengan luka lebam. Hidungnya mengeluarkan banyak sekali darah.

Seketika aku teringat dengan bagaimana aku pernah berada di posisi yang sama dengan laki-laki itu. Ah, setidaknya dia laki-laki. Harusnya ia lebih kuat daripada aku. Harusnya dia bisa melawan. Bukan malah diam menerima seperti itu. Ck, sialan. Aku kembali ingat dengan usaha yang juga pernah aku kerahkan namun berujung dengan ambang kematian.

Kakiku lantas bergerak mendekatinya.

Srak!

Langkahku seketika tertahan beserta munculnya kertas itu kembali dibawah sepatuku. Ini pasti terdengar aneh. Bagaimana bisa di tengah suara bising yang memekakkan telinga aku masih dapat mendengar suara kertas dari balik sepatuku. Aku kemudian  memungutnya.

Let's delete him

•••








Ditulis, 17 Maret 2023

Past Recording [48] | Endजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें