Eps. 13. End

143 14 14
                                    

"Tunggu!" Aku menoleh mendapati seorang yang selama ini tak sengaja aku perhatikan karena dirinya yang kerap muncul disaat hujan. Ia adalah sosok berjubah hitam berpayung merah. Untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya. Ia memiliki garis muka yang tegas. Matanya sehitam obsidian. Tatapannya sangat tajam. Sekilas aku seperti pernah melihat tatapan itu. Lagi-lagi perasaan deja vu.

"Ada apa?" Kutanya.

"Terima kasih." Ucapnya.

"Hah?" Aku bingung tidak mengerti apa konteksnya mengucapkan itu.

"Kau telah menyelamatkanku."

Aku menatapnya dengan heran. Ternyata orang ini seaneh penampilan dan kegiatannya selama ini. Apa dia gila?

"Aku tidak gila. Tapi aku tahu kau seorang esper."

Aku membulatkan mata. Tak ada seorang pun yang tahu soal ini kecuali diriku sendiri.

"Tulisan itu. Aku yang menulisnya."

"Hah?"

Ia mengangguk. "Kau juga pasti tidak bisa melihat isi pikiranku sekarang. Karena aku juga sama sepertimu."

"Tadi kau bilang apa?"

"Tentang tulisan itu dan segala kejadian yang kau alami. Adalah perbuatanku."

"Aku sama sekali tidak mengerti."

"Orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang selama ini juga menggangguku. Aku membunuh mereka melalui dirimu."

"Kenapa kau menggunakan aku?" Suaraku sedikit meninggi.

"Itu karena aku telah tiada."

Aku mengernyit menatap pada kakinya yang menapak tanah.

"Aku setengah. Tapi aku tidak bisa melakukannya dengan bebas jika menggunakan tubuh ini."

"Lalu apa maksudmu dengan mengikuti lalu menemukan?"

"Di sana." Tunjuknya pada toko tempatku bekerja.

Beberapa mobil polisi terparkir disertai puluhan polisi serta tentara yang mengepung toko itu. Aku hendak mendatangi namun tanganku ditahan.

"Jangan ke sana." ucapnya.

"Tapi---"

"Kau mau dengar penjelasanku?"

Aku ragu sementara di seberang sana suasana tengah diliputi ketegangan karena beberapa polisi seperti menembakan peluru peringatan. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Orang Tua itu menjadikanmu sebagai tangan perantaranya."

Aku menoleh menatap tidak mengerti.

"Operasi yang kau lihat dilakukan oleh tanganmu. Itu adalah perbuatannya."

Sumpah demi apapun kepalaku ingin meledak sekarang juga. Ini kusut sekali. Aku bingung! Aku tidak paham sama sekali.

"Pegang tanganku. Akan kubuat kau menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi dari awal." Ia mengulurkan tangannya.

Aku tidak yakin. Kepalaku makin pusing.

Zinggg!!

Ia berhasil membawaku pergi.

Tapi aku sadar ini bukan duniaku yang asli.

Sebuah gedung. Entah ini di lantai berapa sekarang yang jelas ada banyak genangan air disana sini. Temboknya banyak yang hancur. Disini cukup gelap. Tapi aku masih dapat melihat sekitar.

Seseorang tiba-tiba keluar dari sebuah pintu yang ada di sudut. Ia adalah diriku. Menggeret sebuah koper berlumuran darah. Ada tangan yang menyembul diantara sleteng yang tak ditutup rapat itu.

"Itu adalah diriku."

Aku terperanjat saat kusadari ternyata sosok berjubah hitam itu juga berdiri disebelahku.

"Tadinya aku aku turut membantumu untuk mengabisi nyawa orang-orang yang dianggap tidak berguna. Tapi Orang Tua itu malah menggerakanmu untuk membunuhku."

"Kenapa?"

"Dia itu menganut sekte pesugihan. Dan dia juga tahu dengan kekuatan supranatural yang kau miliki. Selain itu, ia juga tahu apa kelemahan dari kekuatan yang kau miliki. Karena itulah ia memanfaatkanmu. Juga memanfaatkan diriku."

Slash!

Kita berpindah ke suatu tempat gersang dengan padang ilalang yang telah mati menguning. Seorang anak tidur bertelungkup diantara ilalang itu. Sesaat kemudian seseorang datang menemuinya lalu membawanya pergi dari sana.

"Orang Tua itu membawaku pergi begitu saja setelah memasukkan sesuatu ke dalam mataku. Aku tak sempat bisa membaca pikirannya dan tak bisa melihat apa yang ingin dia lakukan kedepannya. Semua terjadi begitu saja. Hingga suatu hari kau datang dan kau diperlakukan dengan serupa. Kita berdua sadar dengan kesalahan yang dilakukan. Tapi kita tidak bisa menggerakan tubuh kita sesuai keinginan. Itu karena Orang Tua itu yang mengontrol. Apa kau mengerti?"

Aku menggeleng.

"Intinya. Meski aku turut berakhir sama dengan korban-korban yang lain. Setidaknya aku selamat dari kurungan. Dan kau juga selamat dari rencana pembunuhan yang sudah ia persiapkan."

"Rencana pembunuhan?"

"Saat ia memintamu untuk pulang lebih awal. Adalah saat dimana ia telah menyiapkan segala sesuatunya untuk mengabisimu."

"Bagaimana kau tahu hal itu?"

"Karena selama ini aku terus mengawasimu."

"Kenapa kau melakukan ini padaku? Maksudku. Kenapa kau repot-repot menyelamatkan aku?"

"Karena aku juga ingin diselamatkan olehmu."

"Lalu apa yang terjadi dengan semua orang yang dibunuh itu?"

"Apa lagi, organ mereka dijual. Dan potongan tubuh mereka diberikan pada buaya kuning peliharaannya. Konon katanya itulah syarat yang harus ia penuhi pada setiap minggunya."

Aku mengusap wajah frustrasi.

"Oke. Lalu apa sekarang?"

Zingg!!

Dia kembali membawaku kedunia nyata.

"Pulanglah. Semuanya sudah selesai. Kau bisa hidup bebas seperti biasanya."

"Benarkah hanya seperti ini saja pada akhirnya?"

"Memangnya kau mau akhir yang seperti apa?"

"Tidak tahu. Tapi ini tidak menarik sama sekali seperti saat kali terakhir aku pergi ke dunia lain. Hanya berisi tentang keanehan yang membuatku pusing."

"Ah, ya soal temanmu. Ia selamat. Yang dibunuh olehmu waktu itu adalah sosok lain yang menyerupai temanmu. Sekarang ia ada di kamar apartemenmu. Pergilah dengan cepat sebelum polisi yang lebih dulu menemukannya."

Sialan.

Aku langsung pergi bergegas meninggalkannya menuju tempat tinggalku.

Sesampainya disana berlari menaiki lift menuju kamarku yang ada di lantai 9.

Benar seperti yang dikatakannya. Ada koper hitam besar di kamarku. Begitu aku buka.

Dia. Kathrina. Teman satu kelasku. Meringkuk disana dalam keadaan penuh lebam. Namun dia hidup. Ia masih hidup.

"Marsha. Maafkan aku. Aku salah." Ucapnya dengan lirih.

Aku langsung memberikan ia air putih dan langsung diteguknya dengan rakus.

"Aku minta maaf, Sha." ujarnya.

"Tentang apa?"

"Aku telah lebih dulu membunuh ibumu."

Oh, Tuhan.

Hal seperti ini pasti tidak akan pernah berakhir mengitari kehidupanku. Pelik. Kusut. Rumit.

Dan hanya aku yang merasakan sakit kepala yang berkepanjangan.

Sialan.

•••













Ditulis, 25 Maret 2023

Past Recording [48] | EndWhere stories live. Discover now