04

344 72 10
                                    

Akhir pekan Juna dirusak oleh kabar bahwa Aca akan pergi menginap di villa dengan teman-teman sesama anggota BEM fakultas yang seminggu lalu dinyatakan purna tugas.

"Berapa lama?"

"Nggak lama. Cuma semalem doang."

Tapi, Juna tetap saja uring-uringan. Meski demikian, Juna bukan tipe laki-laki yang suka melarang-larang, apalagi dengan alasan yang tidak jelas seperti—

"Aku anterin ke vilanya."

"Nggak usah. Ini ada boncengan yang kosong, kok."

kecemburuan misalnya. Juna memang bukan anggota BEM, tapi Juna paham betul bahwa lebih dari setengah populasi organisasi tersebut adalah laki-laki. Saat belum tahu siapa yang akan membonceng pacarnya, Juna sudah merasakan dadanya resah duluan.

Apalagi ketika mata kepala Juna menyaksikan, Aca duduk nyaman di boncengan motor yang pengendaranya tak lain tak bukan adalah Joni.

Sabtu sore itu, Juna baru saja keluar dari ruang praktik, hendak mencari asupan untuk agenda lemburan demi menyelesaikan tugas akhir yang menyita malam minggunya. Aca tidak bilang kalau boncengan kosong yang dimaksud adalah punya Joni. Lagipula, Juna juga tidak bertanya, tadi pagi.

Ya, sudah lah. Kalau sudah begini, Juna juga tidak tahu harus apa.

Juna cuma bisa memperkaya rasa percayanya pada Aca. Namun, nyata, itu tidak semudah yang kalian semua pikir. Cewek modelan kayak Aca ini banyak yang suka. Sudah Juna analisis sejak lama kepopuleran Aca di kalangan para pria. Bisa saja, salah satunya membuat Aca goyah.

Resiko punya pacar cantik. Malam-malam Juna selalu berujung sedikit galau banyak overthinking-nya. Lembur kemudian Juna percepat durasinya dari rencana. Juna merasa raganya ada di ruang praktik, tapi pikiran dan jiwanya tidak.

Juna pulang ke apartemen.

Pikir Juna, mendengar suara dan melihat wajah Aca, meski hanya lewat panggilan video, akan membuat malamnya sedikit lebih tenang. Namun, ternyata tidak begitu. Juna makin tidak bisa terlelap dan berakhir main game saking inginnya mencari pengalihan pikiran dari Aca dan sebuah tangan—entah siapa—yang nampak mengacak rambut perempuan itu.

"Pulang jam berapa?"

"Kalau di jadwal, sih, jam dua udah selesai."

Oke, Juna setting alarm-nya ke jam sebelas. Ia baru bisa tidur pukul enam pagi. Jadi, takutnya kebablasan. Perjalanan dari sini ke vila tempat Aca menginap kira-kira satu jam pakai motor. Kalau pakai mobil mungkin bisa lebih.

Cuaca di minggu siang begitu terik. Jadi, mobil adalah pilihan terbaik Juna. Takut, Aca-nya nanti kepanasan. Namun, ternyata, pilihan Juna tidak sebaik yang ia pikir.

Jalanan macet parah. Sudah hampir pukul dua, tetapi Juna baru setengah jalan. Kalau tahu begini, Juna tadi bawa motor saja.

Tiba di lokasi.

"Aca mana?"

Setelah basa-basi dengan beberapa anggota BEM yang Juna kenal, pertanyaan tersebut kemudian dilontarkan. Empat laki-laki, seluruhnya diam.

"Aca udah balik, Jun." Salah satu bersuara dengan agak ragu.

"Lo-nya telat, sih. Udah balik duluan Aca sama Joni, tadi. Katanya ada acara." Perempuan berkuncir kuda, muncul dari ambang pintu depan vila, menyahut obrolan orang-orang di teras.

Mendengar itu, pamit adalah hal yang Juna segerakan. Memang buat apa ia lama-lama di sana kalau ternyata Aca-nya sudah lebih dulu pulang. Iya salah Juna memang. Aca bilang jam dua, Juna datang jam tiga.

"Emang lo nggak ngabarin Aca, Jun?"

Iya. Salah Juna juga yang tidak mengabarkan niatnya pada Aca.

Namun, Juna cuma takut satu:

penolakan.

Juna takut, ketika ia bilang, "Aku jemput kamu," Aca akan menjawab, "Enggak usah, Jun."

Sekarang, Juna di sini. Di beranda rumah Aca. Duduk di kursi kayu. Tiada sambutan dari sang penghuni. Aca entah sedang apa dan di mana. Juna tidak mencoba menghubungi, sebab pesannya yang tadi siang—menanyakan 'sudah pulang?'—saja belum direspon.

Juna pusing. Hubungannya dengan Aca makin hari makin tidak jelas rasanya.

Rasanya, seperti Juna hanya berjuang sendiri.

Ini bukan yang pertama kali, Juna berpikir gila.

Apa sebaiknya gue akhiri aja?

[]

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now