06

328 71 16
                                    

"Selamat, Bro! Doain gue cepet nyusul."

Tepukan dan pelukan dihadiahkan Juna pada Sultan. Hari ini adalah hari bahagia Sultan dan beberapa temannya yang dinyatakan lulus sidang tugas akhir. Kalau hari bahagia Juna, jelas masih wacana.

"Sendirian aja lo?"

"Idih, lah, ini gue bareng temen-temen sebanyak ini, nggak dianggap?"

Sultan tertawa. "Maksud gue, Aca mana?"

"Ada bimbingan sama dosen."

Sultan hanya mengangguk.

"Kayaknya lo jarang keliatan bareng Aca, ya, Jun. Malah di Aca lebih sering bareng Joni." Itu bukan Sultan yang ngomong, tapi Jelita.

"Gue curiga sebenernya Aca nggak bener-bener sayang sama lo."

Sultan sudah vakum dari singgung-menyinggung soal membingungkannya hubungan Aca dengan Juna. Hari ini, Jelita jadi penggantinya.

"Curiganya gue, si Aca emang belum move on dari Joni."

"Jel, udah, sih, Jel. Ngomong apaan sih lo? Orang Juna sama Aca lagi—ba, sementara, kita mesra-mesranya, kecil-kecilan dulu. Ya, kan, Jun?"

Yang paham perasaan Juna mungkin hanya Sultan. Laki-laki itu mencoba menghibur dengan nyanyian alakadar.

"Dih, mesra apaan. Orang waktu itu Juna seminar aja, dia nggak dateng. Kayaknya, kalo Juna selingkuh juga dia nggak akan perduli tuh."

"Putusin aja, sih, Jun. Lo, tuh, nggak capek apa jadi badutnya?"

"Hubungan tuh harusnya dua arah. Kalo searah doang mah sama aja bohong, Jun. Lo juga berhak dapetin cewek yang beneran sayang sama lo, yang mau perhatiin lo, yang bisa jadi support system lo di masa-masa kayak gini."

Juna rasa, omongan Jelita ada benarnya.

Setelah hari itu, pelan-pelan Juna menggeser Aca dari prioritas hidupnya. Nomor satu, tetap adalah penyelesaian tugas akhir. Jadi, ketika Aca mengajaknya makan bersama, mengajaknya nonton film yang kata orang bagus, mengajaknya pergi ke suatu tempat yang ingin dikunjungi, Juna kerap menolak.

Bahkan, ketika Aca meminta dijemput, Juna cuma, "Aku pesenin ojek online, ya. Kerjaan aku belum beres."

Ketika Aca meminta ditemani datang ke konser musisi kesukaannya, Juna berkata, "Bareng Joni aja, ya."

Aca cuma iya-iya aja. Tidak protes, tidak apa.

Benar memang, ada-tidaknya Juna di hidup Aca tidak ada pengaruhnya. Aca tetap menjalani hari-hari dengan baik. Bahkan, mungkin lebih baik ketimbang saat Juna masih suka sekali merecoki perempuan itu dengan banyak sekali petuah tak berguna.

Juga juga baik-baik saja. Malam-malamnya menjadi sedikit lebih tenang. Meski terkadang, rindu akan Aca masih suka bertandang.

Hubungan mereka berjalan tanpa ada usaha berlebihan dari pihak Juna maupun Aca. Sekadarnya, sewajarnya, senormalnya. Tanpa memaksa. Juna sudah siap, jika memang ujung dari perjuangannya selama ini adalah sebuah kesia-siaan.

Mendapatkan Aca memang sulit, tapi bertahan dengan Aca juga tidak mudah.

Mungkin emang baiknya, mereka masing-masing saja.

Mungkin dengan begitu, baik Aca maupun Juna akan lebih bahagia.

Juna pikir begitu. Sebelum setiap pagi, Joni menghampiri mejanya di ruang praktik, meletakkan wadah berisi kadang roti kadang nasi. Kata Joni,

"Buat sarapan."

"Dari Aca."

Pagi ini juga sama.

Bedanya, Joni agak ketus. Dan, sebelum pergi, laki-laki itu sempat bertanya, "Sama yang lain, lo?"

Juna diam.

"Dihubungin pacar sendiri kayak dihubungin agen pinjol. Susah!!!"

[]

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now