09

411 83 27
                                    

Beberapa puluh menit setelah serangkaian ribut dengan sedikit bumbu baku hantam.

Masih di ruang praktik mahasiswa jurusan arsitektur. Joni duduk di sudut sana, sedang Juna di sudut yang lain. Beberapa teman masih siaga berjaga-jaga, memegang bahu dan lengan mereka. Barangkali, satu atau malah keduanya kembali lumpuh logika.

Ruangan benar-benar hening tanpa suara. Sampai kemudian kursi berderit pelan. Joni tinggalkan itu demi mendatangi Juna, menyodorkan tangan.

"Sorry," katanya.

Namun, Juna hanya melirik tanpa minat.

Joni menghela napas. Menurutnya, luka di wajah Juna tidak cukup membayar luka yang laki-laki itu torehkan di hati Aca. Sudah untung, Joni hanya memukul tiga kali. Sudah untung, Joni mau minta maaf.

Tapi, mungkin, menurut Juna, maaf saja tidak cukup. Mungkin Juna masih merasa dirinya adalah pihak paling terluka. Kalau begitu, apa boleh buat.

"Minggir, lo!"

Posisi Jelita digeser paksa. Joni juga mengambil kapas dan obat merah di tangan perempuan itu. Peran Jelita digantikan. Joni berlutut, membantu Juna mengobati luka-luka di wajah.

"Sakit Jun?"

Juna diam.

"Sakit mana sama Aca yang lo selingkuhin?"

Suara Joni memang pelan, tapi ajaibnya bisa membuat dua manusia tertunduk sesal.

"Kalo lo ngerasa jadi pihak paling capek di hubungan kalian, lo salah Jun."

"Aca lebih capek. Tapi, pernah nggak kamu mikirin capeknya dia? Pernah nggak seenggaknya kamu nanya ke dia, gimana hari ini atau gimana kemarin? Enggak, kan? Selama ini, lo, pusing-pusing mikirin gimana caranya buat diri lo berguna buat dia. Dan, ternyata hal-hal itu yang justru buat diri lo berguna banget buat Aca. Cuma sesepele itu aja lo, nggak bisa lakuin, Jun. Gimana Aca mau nyaman sama lo?"

"Emang, sih, gue tahu banget lo tipe orang yang kalo dia nggak mau cerita, ya udah. Lo nggak akan nanya, meskipun lo penasaran banget. Tapi, ini beda, Jun. Gue pikir, setahun sama Aca udah bisa bikin lo paham kalo dia nggak akan cerita kalo nggak ditanya. Karena dia udah sering kali nggak didengar, karena dia beranggapan orang-orang di luar sana nggak punya telinga yang baik buat mendengar."

"Bener emang kata lo, hubungan harus dua arah. Aca juga nggak mau ada di hubungan yang cuma kamu atau cuma dia yang dapat kenyamanan. Lo nyuruh Aca buat ngomong kalo butuh apa-apa, kalo ada apa-apa. Tapi lo-nya? Aca tahu nyokap lo meninggal, dari siapa? Dari gue. Aca tahu lo sering dipukulin bokap lo, dari siapa? Dari gue. Aca tahu lo kena semprot dosen soal rancangan lo, dari siapa? Gue, Jun. Gue yang ngasih tahu Aca."

"Dan, emang Aca diem aja waktu dia tahu? Kan, enggak? Dia yang nggak pernah naik kereta, pergi sendirian Jun dari Bandung ke Jogja, ke rumah lo, ke kuburan nyokap lo. Gue denger sendiri, Jun, dia bilang, dia bakal jagain lo, dia bakal rawat lo."

"Dia sediain banyak obat di apartemen lo, biar lo bisa obatin luka-luka lo kalo sewaktu-waktu bokap lo mukul. Karena dia tahu, lo nggak bakal ngeliatin luka lo ke dia, apalagi ngebolehin dia ngobatin lo. Dia sediain obat demam, obat flu, obat batuk, biar lo bisa minum. Karena apa? Ya, karena lo kalo sakit nggak pernah ngabarin siapa-siapa. Tiap hari, Jun. Tiap hari Aca khawatirin, lo."

"Itu alasan kenapa Aca kalo apa-apa ke gue. Bukan buat gue, Jun. Buat lo. Dia nggak mau lo anter-jemput, ya karena dia tahu lo butuh banyak waktu buat tugas akhir lo. Dia nggak ngabarin lo waktu kecelakaan, ya, karena dia nggak mau lo panik terus terjadi hal-hal lain yang gak diinginkan. Dia tahu lo orangnya panikan banget. Dia nggak mau lo dapet masalah lagi, dia nggak mau nambah-nambahin beban pikiran lo, pekerjaan lo."

"Mungkin cuma sedikit yang bisa gue lakuin buat dia. Ada banyak hal yang Aca tanganin sendiri tanpa gue, tanpa lo."

"Ini alasan kenapa Aca sebut kalian sepasang yang jalan masing-masing. Ini kenapa aca nyebut kalian nggak bisa jadi rumah buat satu sama lain. Tapi, asal lo tahu, Aca sebenarnya bisa, Jun jadi rumah lo. Aca bisa ngobatin luka-luka lo. Aca bisa, Jun. Tapi, sedari awal emang lo yang nggak ngasih kesempatan. Lo yang bikin hubungan kalian jadi seolah-olah searah."

Sesi pengobatan dan perefleksian selesai. Joni berdiri memandang Juna beserta rautnya. Meski Juna nampak tenang, tapi Juna tahu ia berhasil memukul batin Juna habis-habisan. Joni percaya Juna masih menyayangi Aca sebanyak Aca menyukai Juna. Joni tidak serta-merta percaya Juna tergoda oleh spek perempuan macam Jelita.

Toh, waktu Joni bentak Juna tadi, "Kurang apa Aca buat lo, Jun? Kurang cantik? Kurang menarik? Kurang baik? Kalo iya, buta lo, Jun!"

Juna tidak menjawab apa-apa. Juna cuma mengeluhkan perasaan capeknya. Sama seperti cerita Aca yang Joni dengar lewat telepon semalam.

Sesungguhnya, Aca tak memperkenankan Joni untuk ikut campur banyak. Kalau tahu, Joni bicara sebanyak ini pada Juna, mungkin Aca akan marah padanya. Dia tidak mau Juna-nya—yang sekarang jadi Juna orang lain—menderita karena katanya porsi menderita Juna sudah terlalu banyak.

"Asal lo tahu, Jun. Lo nggak perlu mikirin gimana caranya biar bisa bikin Aca suka sama lo."

Dan, ini adalah bagian paling rumit menurut Joni.

"Aca udah suka sama lo jauh sebelum dia kenal gue. Lo orang favoritnya."

Karena Aca juga adalah orang favorit Joni. Aca pernah buat Joni menyesal setengah mati karena berani melukai.

"Kalo lo nggak percaya, kalo lo butuh bukti, tanya langsung ke orangnya. Tanya! Jangan diem aja!"

"Kalo lo masih nganggep dia belum move on dari gue, kurang-kurangin lah pikiran negatifnya. Kalo Aca belum move on, dia udah ninggalin lo dari dulu. Gue sering hasut dia buat putus sama lo, balikan sama gue. Tapi, lihat sendiri kan lo? Dia masih sama lo, meskipun akhirnya lo sama yang lain."

Ruangan hanya tersisa Joni dan Juna. Manusia-manusia lain termasuk Jelita sudah tiada. Mereka tahu, pembahasan ini butuh privasi. Jelita pergi setelah satu kali melihat Juna menitikkan air mata.

Joni juga pergi setelah menepuk satu kali pundak Juna.

Dan, Juna juga ingin pergi.

Pergi menuju Aca dan memeluknya sekarang juga. Dari balik jendela, Juna melihat perempuan itu berjalan bersama kawan-kawannya dan tertawa.

Juna juga mau berjalan bersama Aca dan membuatnya tertawa.

Juna mau.

Kalau diberi kesempatan, Juna mau perbaiki semuanya.

[]

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now