10

699 95 34
                                    

Ardjuna Dewangga pernah jadi manusia favorit Aca sebelum akhirnya laki-laki itu menduduki peringkat manusia paling menyebalkan sedunia. Hanya karena satu perkara yang menurut Aca klasik saja tapi fatal pengaruhnya.

Sama seperti alasan Aca marah pada Joni waktu itu, atau marah pada ayahnya puluhan tahun lalu:

Juna menyeret orang lain ke dalam hubungan mereka.

Sama seperti saat-saat menyakitkan itu terjadi akibat dua orang sebelumnya, Aca tidak bisa menyuarakan amarahnya dengan benar. Aca pernah mengatakan bahwa ia benci marah yang dibungkam, tapi Aca sendiri juga demikian.

Sama seperti ketika ia menerima perlakuan tidak adil dari banyak manusia yang ia kenal, Aca sangat bisa membenci kelakuannya, tapi tidak dengan pelakunya. Jika hari ini diperlakukan buruk, keesokan harinya Aca akan bersikap seperti kemarin tidak terjadi apa-apa.

"Sibuk nggak?"

"Enggak. Kenapa?"

"Bisa ketemu, hari ini? Ada beberapa barang yang mau aku balikin ke kamu."

Sekarang pun sama.

Setelah menerima sebuah telepon, ia di sini, di depan ruang praktik mahasiswa arsitektur, melangkahkan kaki pada Juna.

Kehadirannya membuat seluruh mahasiswa di dalam sana, kecuali Juna, memilih pergi kemudian. Aca tahu, kabar kandasnya hubungan ia dengan Juna telah menyebar sampai ke banyak telinga. Aca tahu, keributan terjadi di tempat ini, waktu itu. Hanya saja, Aca memilih menutup telinga dari banyak pertanyaan yang diajukan padanya. Aca memilih menutup mata atas luka yang Joni hadiahkan pada Juna.

Biar saja. Energi Aca sudah cukup terkuras malam sebelumnya, saat ia menangis dan mengutuk dunia.

"Duduk, Ca!"

Aca duduk di kursi bekas Juna. Bukan yang pertama, sebelum ini, Aca pernah beberapa kali duduk di sini, sekadar menemani Juna hingga sore tiba, atau hingga larut menjemput.

Juna pergi ke menuju loker di ujung sana, mengambil sebuah tas kertas dan jaket. Juna letakkan benda-benda itu di atas meja, di samping maketnya yang nyaris sempurna, di depan Aca.

"Makasih banyak, ya. Maaf, baru bisa ngembaliin sekarang."

Tak ada suara dari Aca. Hanya anggukan. Dan, sedikit senyuman. Pandangan mereka sempat bertemu sepintas, sebelum Juna akhirnya mengambil posisi bersandar pada meja dan membuat Aca tidak bisa utuh melihat wajah itu.

Aca hanya bisa melihat punggung, lengan kanan, bahu kanan, dan separuh wajah Juna beserta bekas lukanya.

Hening cukup panjang.

"Maket kamu udah beres, ya?"

"Sedikit lagi."

Pandangan mereka sama-sama tertuang pada maket di meja.

"Sidang bulan ini?"

"Insyaallah."

Sebelum akhirnya, bertaut. Aca mendongak, Juna menunduk. Aca tersenyum. "Syukur, deh. Selamat, ya."

Juna tidak. Senyum Aca lenyap begitu merasakan tatapan Juna tidak juga berpindah darinya. Tatapan yang Aca sendiri tidak mampu menelaah jauh arti di baliknya. Butuh banyak waktu untuk itu, sementara Aca tidak bisa menatap lebih dari tiga detik.

"Aku bawa, ya, tempat makannya."

Aca alihkan perhatian menuju tas kertas yang ia ambil, kemudian menuju jaket yang ia biarkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 24, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now