05

334 76 20
                                    

"Oh, acaranya nemenin Joni siaran?"

Aca diam ketika Juna bertanya pelan. Tidak ada nada meninggi seperti senormalnya manusia marah, tapi Aca merasa Juna sedang marah.

"Gitu, Ca?"

Dan, Juna memang pantas marah.

Ini malam menuju petang. Sekitar pukul delapan.

Lewat enam jam dari waktu yang Aca sebutkan terkait kepulangan. Aca juga sudah dengar kabar tentang kedatangan Juna ke vila dari Jelita, salah seorang temannya yang masih bertahan cukup lama di sana setelah Aca memilih pulang dengan Joni.

Alasan karena takut kalau pulang kesorean akan terjebak hujan, belum bisa Aca kabarkan pada Juna yang terlanjur benar-benar hening.

Aca juga baca pesan yang dikirim Bu Soni—tetangga rumahnya—yang bilang kalau Juna tadi numpang salat maghrib. Katanya, Juna sejak sore duduk di beranda rumahnya yang terkunci.

"Juna, maaf."

Mereka ada di area fakultas, sedang berjalan menuju tempat Juna memarkir mobil.

"Juna."

Aca panggil Juna agak keras, tapi sosoknya tetap tak menoleh. Dalam menyamai langkah lebar Juna, perempuan itu sangat payah. Dan, ketidakperdulian Juna adalah tanda bahwa laki-laki itu sedang sangat marah.

Keheningan Juna, Aca pikir adalah hal paling menakutkan sedunia. Aca lebih menyukai kemarahan yang disuarakan—seperti kemarahan ayahnya—ketimbang kemarahan yang dibisukan.

Duduk di dalam mobil Juna selama tiga puluh menit, rasanya seperti tiga puluh tahun. Juna tidak bicara apa-apa. Aca sungkan memulai. Padahal kesempatan terbentang lebar untuk Aca menjelaskan bahwa ia hanya ketiduran di tempat siaran. Terlebih, hari hujan dan Aca agak kelelahan.

"Masih suka kamu sama Joni, Ca?"

Setelah sekian lama, perbincangan akhirnya dimulai juga.

Namun, pertanyaan Juna sama sekali tidak ada dalam prediksi Aca sehingga perempuan itu terdiam lama.

"Kita udah satu tahun, Ca. Kamu masih suka sama dia?"

Jujur saja, Juna masih sangat takut mendengar jawaban Aca tentang ini. Juna bukan orang naif. Aca diajaknya pacaran dalam keadaan perempuan itu masih belum menyingkirkan perasaan dari Joni. Memang, Joni pernah benar. Aca pernah ada di fase susah move on. Aca juga mengakui. Juna saja yang pura-pura tuli.

Yakin Juna, seiring berjalannya waktu, Aca akan suka dengannya. Aca juga berharap begitu. Jadi, mereka sepakat untuk mencoba. Aca mau berusaha, katanya. Juna juga.

Namun, sudah setahun, dan semua usaha tetap sia-sia, begitu?

"Enggak, Jun. Udah, enggak."

"Terus kenapa kamu apa-apa masih selalu ke dia? Kenapa kamu selalu nurut omongan dia?"

Aca diam.

"Kamu kecelakaan, dia yang kamu telepon duluan. Pergi ke mana-mana selalu dia yang boncengin kamu. Dia nyuruh kamu mampir ke tempat siaran, kamu mau. Dia nawarin jaketnya yang sekarang kamu pake, kamu mau. Sedangkan, kamu, aku suruh bawa jaket aja, nggak bawa, Ca?"

Aca masih diam.

Ternyata, marah yang disuarakan lebih buruk dari yang ia pikirkan. Terlebih ini Juna, yang notebenenya hampir tidak pernah meninggikan suara.

"Jangan-jangan, kalau Joni suruh kamu telanjang, kamu mau juga?"

Omongan Juna sebelumnya tidak pernah semenyakitkan ini.

Aca benci menangis di depan orang lain. Maka, sepanjang sisa perjalanan ia tahan setumpuk tangis yang meminta dilepas. Ia buru-buru meninggalkan mobil Juna begitu sampai.

Juna juga buru-buru pulang.

Tak lama, datang Joni ke apartemennya, menyerahkan sebuah bungkusan.

"Apaan?"

"Nasi goreng. Tadi ketinggalan di ruang siaran."

"Punya siapa?"

"Punya lo sama Aca."

Juna mengernyit.

"Aca yang pesenin karena katanya lo pasti belum makan. Tapi, lo dateng-dateng mukanya udah kayak baju nggak disetrika setahun."

Hening.

Hening.

Hening.

"Aca juga belum makan. Tadi nungguin lo biar bisa makan bareng, katanya."

Juna, lo sampah banget, sumpah.

[]

SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL KITA BUKAN SEPASANG [END]Where stories live. Discover now