🍁 Bocil Kematian : part 1

4.1K 287 80
                                    

"Sial!"

Pemuda berperawakan tinggi dengan badan gagah tapi wajah menggemaskan baru saja mengumpat. Ia tergesa-gesa berlari keluar dari indekosnya, memakai sepatu terpincang-pincang karena tidak berhenti melangkah. Dasi yang seharusnya terpasang rapi di kerah kemejanya dibiarkan terjepit di antara giginya, sementara tangannya mulai bekerja mengancingkan satu per satu kancing kemejanya.

"Haaa, jangan sampai telat!"

Dia, Park Jeongwoo, dengan wajah gusarnya mencoba secepat mungkin untuk mencapai tepi jalan raya. Saat taksi melintas tepat di depannya, tanpa ragu tangannya melambai untuk menghentikan taksi itu dan segera memasukinya. Sebetulnya, sangat sayang membuang-buang uang demi menaiki taksi ke kampusnya yang jaraknya hanya sekitar sembilan kilometer, mengingat kalau naik bus harganya jauh lebih terjangkau. Tapi apa boleh buat, keterlambatan Jeongwoo memaksanya untuk menempuh jalan ini meski ia tak rela setengah mati.

Dengan mulut yang tak henti mengoceh sejak tadi, Jeongwoo akhirnya berhasil sampai di depan gerbang kampus barunya. Selesai bertransaksi, kaki panjangnya segera berlari memasuki gerbang sambil tangannya merapikan kemeja yang harus dimasukkan ke celana.

Sembari berlari, Jeongwoo merogoh ponselnya untuk mengecek waktu. Sialnya, gedung fakultas Jeongwoo ada di belakang kawasan kampus. Dan netra serigalanya langsung membulat sempurna kala mengetahui waktu yang ia punya untuk bisa sampai di barisan sudah lewat dari lima menit. Dan makin sial lagi saat ia menabrak seseorang yang berjalan dari arah parkiran dekat fakultasnya.

Tubuhnya nyaris jatuh terjerembap, berbeda dengan yang dia tabrak hanya bergeser sedikit dari posisi seharusnya. Padahal, dilihat-lihat, porsi badannya lebih kecil dari Jeongwoo. Ponsel mereka sama-sama terjatuh, membuat keduanya segera membungkuk untuk mengambil ponsel masing-masing.

"Kalau jalan liat sekitar baik-baik!" sentak orang dengan suara bass-nya yang membuat Jeongwoo merinding.

Si manis tersenyum kaku, menatap sebentar wajah orang yang ditabraknya, lalu membungkuk sembilan puluh derajat berkali-kali. "Iya, maaf, maafkan aku. Aku sudah terlambat. Maaf, ya!" serunya sambil berlari menjauh.

Napas si manis tak terkontrol lagi. Dari posisinya sekarang, ia bisa melihat kalau masa orientasi fakultasnya telah dimulai dengan barisan para senior yang telah rapi di hadapan ratusan mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya.

"Ya Tuhan, semoga nggak dihukum aneh-aneh," bisik Jeongwoo pasrah sembari berjalan gontai ke arah barisan mahasiswa yang terlambat.

"Adek baru datang, kan? Sini, baris di sini, ya." Seorang senior perempuan mengarahkan Jeongwoo ke mana ia barus berdiri dengan ramahnya.

Jeongwoo tersenyum kikuk, mengucapkan terima kasih sambil mengikuti arahan seniornya yang sempat ia intip nametag di almamaternya bernama Uchinaga Aeri. Jeongwoo pikir, ia akan dimarahi olehnya, karena wajahnya terlihat sangar sekali di awal si manis melihatnya.

Setelah bergabung dengan barisan, sudut matanya menangkap seseorang yang baru saja ia tabrak beberapa saat lalu. Dia juga terlambat, tapi berjalannya santai sekali.

"Berani banget gila," desis Jeongwoo pelan ketika melihat pemuda jangkung itu berjalan ke arah barisan depan mahasiswa yang terlambat.

"Jadi, semua yang di sini adalah mahasiswa baru yang terlambat?" Suaranya lantang terdengar sampai ke barisan paling belakang, alias di mana Jeongwoo berada saat ini.

"Iya, Kak!" Jawaban itu diserukan bersama dengan kompak.

Jeongwok tak bisa lebih terkejut dari ini karena teman-teman barunya menyebut 'Kak' untuk memanggil pemuda itu. Ia pikir, mereka sesama mahasiswa batu karena pemuda itu memakai pakaian sama persis seperti maba lainnya.

Hajeongwoo ThingWhere stories live. Discover now