[7] Alasan yang Sebenarnya

4.2K 297 0
                                    

Rano berlari di lorong rumah sakit secepat yang ia bisa. Peluh di keningnya mengalir deras membasahi raut wajahnya yang pucat karena panik.

Setelah mendapat telfon dari seorang perempuan yang mengatakan bahwa kakaknya berada di rumah sakit, Rano langsung meminta Ridwan untuk mengantarnya.

Berbeda dengan Rano yang khawatir dengan kondisi kakaknya, Ridwan lebih mengkhawatirkan reaksi Reno nanti. Laki-laki itu pasti marah bukan main karena adiknya mengetahui kondisinya.

"Mbak, yang tadi nelfon?" Rano menatap perempuan yang kini duduk di kursi tunggu dekat pintu UGD.

"Ridwan?"

Rano menoleh dan melihat Ridwan yang sama terkejutnya dengan perempuan tadi.

"Jadi, yang nelfon lo, Mi?"

Ilmi mengangguk. "Gue nggak tau harus hubungin siapa. Jadi, gue liat ponsel Reno dan nelfon nomor yang terakhir dia hubungin."

Pintu UGD terbuka. Beberapa dokter dan suster keluar dari sana. Salah satu dokter itu menghentikkan langkahnya saat melihat Rano ada di sana.

"Rano?"

"Dokter Ibnu?" Rano langsung menghampirinya. "Gimana keadaan Kak Reno?"

"Kamu... kenapa bisa ada di sini?" tanyanya tergeragap.

"Dok! Jawab pertanyaan saya!"

"Reno baik-baik aja, Ran. Kamu nggak usah khawatir. Sekarang, kamu harus pulang. Besok kamu sekolah, kan!?" Dokter itu memberi kode pada Ridwan agar segera membawa Rano pergi.

"Ran,"

Rano menepis pegangan Ridwan. Matanya menatap lekat pada dokter yang kini berdiri di hadapannya. "Saya mau ketemu Kak Reno."

"Tidak bisa!" tegasnya. "Reno harus istirahat malam ini. Kamu datang lagi besok."

"Dok,"

"Rano, kamu sudah cukup besar dan seharusnya tahu apa yang baik untuk kakakmu. Kalau kamu mau Reno cepat keluar dari rumah sakit, ikuti kata saya."

***

Setelah mendengar penuturan Ridwan tentang kondisi Reno yang sebenarnya, Ilmi mengerti.

Seberapa keras laki-laki itu mencoba untuk membalaskan dendamnya yang menggebu. Seberapa keras laki-laki itu mencoba untuk membuat keluarganya terlepas dari Sun World.

Ia baru menyadari, dirinyalah satu-satunya orang yang kini diharapkan oleh Reno untuk membalaskan dendam ayahnya.

Maka saat ini Ilmi menatap laki-laki berwajah pucat itu dengan tatapan nelangsa. Ia tahu, jauh dalam hatinya, meskipun ia kesal setengah mati dengan Reno, ia juga turut sedih dengan kejadian yang telah menimpa laki-laki itu. Tapi bagaimana pun juga, ini tidaklah benar.

Jika saja ia tidak melihat raut wajah khawatir milik adik Reno, Rano, mungkin Ilmi sudah memilih untuk membatalkan perjanjian. Masa bodo dengan dirinya yang akan mengabdi dengan Sun World dari pada membuat laki-laki yang kini terbaring lemah di atas ranjang itu berbuat yang tidak-tidak.

Tanpa sengaja, Ilmi melihat kedua kelopak mata itu bergerak. Tergelak, ia langsung memerhatikannya. Berharap laki-laki itu segera sadar dari tidur panjangnya.

"Ren? Reno?"

Kedua mata laki-laki itu terbuka perlahan. Mencoba membiasakan iris matanya yang tersorot oleh cahaya.

***

Setelah diperiksa lagi oleh Dokter Ibnu, Reno mendapat rentetan omelan lagi dari Beliau. Dan lagi-lagi, dengan santainya, laki-laki itu tidak menggubrisnya. Mengabaikannya begitu saja.

Sementara Ilmi hanya bisa melihat itu dengan kesal. Laki-laki itu benar-benar keras kepala dan menyebalkan tingkat kecamatan!

"Apa?" tanya Reno saat Ilmi menatapnya dengan lekat dan tajam dari sofa yang ada di ruangan itu.

Ilmi mengangkat bahu. Melipat kakinya dengan santai. Kedua matanya tetap menatap Reno dengan intens.

"Apaan sih?" Reno merasa risih saat dilihat seperti itu.

"Nggak ada yang pingin lo jelasin?" tanyanya datar.

Reno mengalihkan pandangannya. Berdecak kesal. "Tadi kayaknya lo udah denger Dokter Ibnu ceramah panjang lebar."

"Bukan soal itu."

"Trus?" Reno kembali menoleh ke arah Ilmi.

"Rano." Katanya. "Lo nggak mikirin dia?"

Geraham Reno mengeras. Ia kembali mengalihkan pandangannya. Menatap lurus dengan arah fokus yang tak jelas. Ia terdiam.

"Lo egois." Ilmi berkata sinis. "Lo sama sekali nggak mikirin perasaan Rano dan kondisi lo sendiri. Yang lo pikirin cuma balas dendam!" cercanya. "Apa hebatnya balas dendam!?"

Terpancing. Reno menatap Ilmi dengan tatapan yang sama sinisnya. "Justru karena Rano, gue melakukan semua ini!" tekannya. "Karena gue harus melindungi dia! Bagaimana pun caranya, gue harus melindungi Rano! Meski-pun harus melawan Sun World."

"Lo bisa melindunginya dengan cara lain." Ilmi bersikeras. "Nggak harus dengan melawan Sun World. Lo pikir, lo siapa? Lo bukan siapa-siapa. Lo nggak akan bisa ngelawan Sun World!"

"KARENA SUN WORLD BERNIAT UNTUK MENJADIKAN RANO BUDAKNYA!" bentak Reno frustasi. "KARENA MEREKA TAU," laki-laki itu menggantungkan kalimatnya, "DENGAN BEGITU, PERUSAHAAN AYAH GUE AKAN JADI MILIK MEREKA! GUE DAN RANO... AKAN JADI BUDAK SELAMANYA!"

Tersentak. Ilmi terdiam dengan kedua mata membelalak lebar. Terkejut luar biasa. Tangannya gemetar dan dadanya bergemuruh luar biasa.

Apa Reno baru saja mengatakan alasan sebenarnya ia ingin balas dendam? Tidak hanya karena kematian ayahnya. Tapi juga karena masa depan adik kesayangannya ternyata ada di tangannya?

***

Pertengkaran itu terus terlintas di pikirannya. Membuatnya belakangan ini menjadi susah tidur. Dan Ilmi tahu jelas, ia tidak akan bisa tenang sebelum menyelesaikan masalahnya dengan Reno.

Untuk kesekian kalinya, Ilmi mengganti posisi tubuhnya. Keduanya masih terbuka lebar sementara tubuhnya sudah lelah. Sayangnya, otaknya tak ingin berhenti berpikir barang sedikit saja.

Drrrtt...

Ilmi mengernyit saat mendengar getaran ponselnya yang berada di atas nakas. Ia mengambil ponselnya. Dalam hati bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya malam-malam begini.

Nama Brian terpampang di layar ponselnya. Sebuah pesan masuk.

Girl, you have to sleep. Besok kita pergi ke laut. Remember?

 

Tersenyum. Ilmi membalas pesan itu dengan hati berbunga-bunga, dan pikiran tentang Reno hilang seketika.

Forgot. Kayaknya aku bakalan ga tidur nih. Bsk ga usah y?

 

Dan dalam waktu hitungan detik, Brian langsung membalasnya. Dan isinya sudah bisa ditebak oleh Ilmi.

U wanna kill me, Girl. Sleep right now! Atau besok km aku geret dr tempat tidur.

 

Tertawa, Ilmi memegangi perutnya. Mengerjai Brian adalah hal yang paling menyenangkan. Laki-laki itu selain tampannya luar biasa, dia juga pemaksa. Jadi, tak heran, jika Ilmi membatalkan acara tiba-tiba, laki-laki itu akan mengamuk.

Kidding, Brian. I'll sleep now. See u.

 

Kemudian, sebuah pesan terakhir yang tak sempat Ilmi baca, karena ia sudah terlelap, muncul.

Nice dream, Babe. Love u

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang