[8] Alfareno Pradipta

4.5K 294 1
                                    

"LAUTTTTT!!!" Ilmi berseru sambil berlarian di pinggir pantai. Mengangkat sepatu sendalnya tinggi-tinggi dan membiarkan dirinya berlari mengejar ombak.

Sementara itu, Brian baru berjalan menghampirinya.

Hari ini, laki-laki itu tampan luar biasa. Meskipun setiap hari memang tampan, laki-laki itu hari ini tampan luar luar luar biasaaaa.

Ilmi sempat bengong di tempat saat laki-laki itu menjemputnya dalam balutan kemeja biru, hitam dan putih kotak-kotak miliknya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya dan seulas senyum manis terarah pada Ilmi.

Terkesiap. Brian langsung berlari saat melihat Ilmi bergerak miring dan hendak jatuh membentur pasir di bawahnya.

Kedua mata Ilmi menutup rapat. Berharap sakit yang akan diterima tubuhnya tidak seberapa. Namun basah yang seharusnya ia rasakan, tak kunjung ia rasakan.

Ia membuka matanya perlahan. Dan terkejut saat menemukan Brian sudah merengkuhnya dalam pelukan hangat. Memperpendek jarak di antara mereka berdua.

"Hati-hati, Sayang."

Ilmi yakin pipinya bersemu merah seperti tomat. Rasanya panas dan degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Jari jemarinya bahkan bergetar menahan rasa gugup yang tiba-tiba melandanya.

Sial! Kalau begini terus, ia bisa mati karena terpesona.

***

"Yan," panggil Ilmi pelan saat mereka makan bersama di sebuah restoran yang menghadap ke arah pantai.

Dari sini, Ilmi masih saja mengagumi pantai milik Indonesia itu dengan kedua mata berbinar. Sebenarnya banyak tempat seperti ini di Indonesia, hanya saja kurang dikembangkan dan kurang diperkenalkan.

"Hmmm?" Brian menanggapinya sambil memotong steak dengan garpu dan pisau di tangannya.

"Kamu nggak pernah kepikiran soal keluar dari Sun World?"

Tergelak. Laki-laki itu menghentikan aktifitasnya. Kedua tangannya berhenti di udara dan kepalanya langsung menengadah. Menatap Ilmi dengan sorot kaku.

Ilmi berdeham. Merasa suasana akan canggung saat ia diam saja. "Aku tau. It's not easy. Back then, you deserve to be happy, Brian. Kamu pantas bahagia tanpa harus ada di Sun World."

Laki-laki itu masih terdiam. Menatap Ilmi dengan kekosongan matanya, sebelumnya kahirnya melanjutkan kegiatannya memotong steak dengan kedua tangannya. Mengacuhkan kalimat itu.

"Aku anggap, aku nggak pernah dengar itu dari kamu."

"Yan," Ilmi menatap Brian frustasi. Laki-laki itu terlalu baik. "Kenapa? Apa Sun World segitu kasarnya sampai kamu nggak bisa keluar dari sana?"

Kedua mata laki-laki itu mengelam. Menandakan bahwa arah pembicaraan ini sebenarnya tidak diinginkannya.

"Kalau kamu mau, aku bisa bawa kamu keluar." Katanya lagi.

Brian menggeleng cepat. "Aku nggak bisa."

"Kenapa? Kamu takut?"

"Mi, there are so many things that you didn't know. And will never you know." Katanya dengan kedua mata menatap Ilmi lekat. "Aku udah bilang sama kamu dari awal. Kalau kamu memang terpaksa masuk ke Sun World, jangan pernah masuk. Karena kamu nggak akan bisa keluar, Sayang." Brian menggeleng pelan. "There's no exit door."

"Yan! Bukan begitu. Aku mau, kamu dan aku sama-sama membuat kejahatan Sun World terungkap," jelas Ilmi. "Aku nggak mau liat kamu tersiksa karena Sun World."

"Apa aku terlihat tersiksa?"

Terdiam. Ilmi menatap tak mengerti pada laki-laki di hadapannya. "Sangat."

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang