[17] Hati yang Memutuskan

3.5K 266 0
                                    

Setelah memberondong begitu banyak pertanyaan pada Reno tentang Pak Candra dan kehidupan Reno sesungguhnya, akhirnya Ilmi berhenti bertanya.

Masih merasa sedikit kesal karena Reno tak pernah menceritakan semua hal sesungguhnya tentang laki-laki itu, Ilmi menekuk wajahnya. Bibirnya mengerucut.

"Ayolah, berhenti ngambeknya,"

Kedua mata Ilmi menyipit menatap Reno. "Jangan-jangan lo masih nyembunyiin yang lain," ucapnya penuh curiga.

"Enggak, Mi," ucapnya sambil menyentuh wajah Ilmi dengan kedua tangannya. Matanya yang hitam pekat menatap Ilmi tepat di manik mata.

Seulas senyum tipis kemudian muncul di wajah Ilmi. Membuat gemuruh di hati Reno kembali terasa. Membuat laki-laki itu berkedip-kedip dengan nafas terengah. Mencoba untuk menetralkan perasannya.

Ia menarik kedua tangannya yang memegang wajah Ilmi dengan lembut. Matanya bergerak menghindari tatapan Ilmi. Jika ia lama-lama menatap perempuan itu, bisa-bisa Reno mati di tempat!

"Jadi, Pak Candra itu Oom lo yang lo anggap sebagai Ayah sendiri karena ngurus lo semenjak Ayah lo meninggal?"

Reno mengangguk.

"Orang yang selama ini ngurusin perusahaan, sementara lo belajar bisnis meskipun jurusan kuliah lo nggak ada sangkut pautnya sama bisnis?"

Reno mengangguk.

"Ren, gue ajak ngomong kok nengoknya ke lantai sih. Emangnya di situ ada apaan?" tanya Ilmi dengan kening berkerut. Ia jadi mengikuti arah pandang Reno yang tengah melihat ke lantai putih di bawah mereka.

Tergeragap. Reno langsung mengalihkan pandangannya. Mencoba sebisa mungkin untuk bersikap biasa.

"Gue lagi mikir, tau!"

Ilmi langsung mendengus sebal. "Udah sehat ya?" tanyanya.

Kemudian memeriksa suhu tubuh Reno dengan meletakkan tangannya di kening laki-laki itu. Membuat Reno menahan nafas selama adegan itu terjadi. Jantungnya berdegup kencang bukan main. Rasanya dia benar-benar gila sekarang.

"Udah kayaknya." Ilmi menaikkan salah satu alisnya. "Lo udah nggak demam juga udah bisa marah-marah."

"Siapa yang marah-marah?" tanya Reno sewot.

"Itu barusan." Ilmi tersenyum menggoda.

Reno yang keki akhirnya memilih diam. Menutup mulutnya rapat-rapat. Karena semakin lama ia meladeni Ilmi, maka akan semakin terlihat pula bahwa ia sedang gugup bukan main.

Dalam hatinya, Reno merutuki setiap tindakan cerobohnya. Juga dengan hatinya yang tiba-tiba saja bergemuruh di saat bersama Ilmi.

Kayaknya gue harus ke rumah sakit jiwa, desisnya dalam hati.

Sebenarnya, Ilmi sangat ingin bertanya perihal perusahaan pada Reno. Menanyakan segala hal yang tak diketahuinya. Yang membuatnya mati penasaran. Tapi kali ini, ia sama sekali tidak ingin mengacaukan semua yang sudah berjalan baik hari ini.

***

Setelah melihat Reno kembali beristirahat, Ilmi memutuskan untuk keluar ruangan. Mungkin ia harus berkeliling di taman rumah sakit agar pikirannya jernih.

Namun langkahnya terhenti tepat ketika ia hendak berjalan keluar. Kedua matanya menemukan keberadaan Pak Candra yang baru saja selesai berbicara dengan Dokter Ibnu.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Pak Candra ke taman rumah sakit bersama. Karena berondongan pertanyaan untuk Reno tadi dirasanya kurang cukup jika ia tidak bertanya juga pada Pak Candra. Karena Beliau lah yang membuat dirinya merasa tidak mengetahui apa-apa.

Beautiful HackerWhere stories live. Discover now