01

1.9K 228 73
                                    

Davin yang konon katanya paling pemberani sekarang memilih maju beberapa langkah dengan tangan bak supervisor lapangan. Ia mengamati penampilan seorang lelaki yang rambutnya bagai sarang burung hinggap diatas dahan pohon cemara. Kusut.

Sang tersangka belum berpaling, masih memandang lurus kearah ketiga calon mangsanya untuk diburu menjadi vampir junior. Ah tidak-tidak. Dia bukan edward cullen sungguhan. Dia manusia, non vampire also non zombie.

"Lo bilang 'jangan takut' tapi kenapa kesannya lo lagi nakutin orang? Mana ketawa haha hihi segala," Davin komentar agak nyengak alih-alih ketakutan seperti Sing.

Leo sontak menyenggol bahunya, mengisyaratkan bilamana seorang tamu asing tidak seharusnya berbicara kelewat batas seperti itu. Apalagi terhadap makhluk sedikit menyeramkan macam lelaki didepannya; dengan pakaian lusuh sejenis baru selesai melakukan pekerjaan yang melibatkan gundukan tanah serta peluh didahinya yang terlihat menonjol. Bersyukur yang kedua ini Leo lihat sebab lampu terang diatap teras.

"Maaf, sebelumnya. Kita bertiga sebenernya cuma lagi nyari kost-kost'an disekitar sini. Beruntung nemu kost yang ya ... lumayan gak bikin kantong seret." Jabar Leo, sesekali mengulum bibir saat mengarahkan kerlingannya kearah rumah bercat putih.

"Dengan kata lain kita mau ngekost disini. Dan kita sekarang lagi nunggu anak dari pemilik kost buat reuni bahas masalah biaya dan tempat tinggal." Lanjut Sing. Agaknya anak itu berusaha menepis rasa takutnya kepada si Edward Cullen kw.

Wush~

Tumpahan angin menyapu rambut keempatnya, seperti sebuah pembantaian sebab Sing langsung goyak tumpuan dikakinya. Padahal tubuhnya setinggi mercusuar namun letoy ketika sudah berhadapan dengan sesuatu yang dirasa agak seram.

Ini cuma angin!

"Jadi ... lo anak dari pemilik kost?" Terka Leo.

Nyaris saja pemuda singa itu mengumpat begitu sosok yang ditanya tak kunjung membuka bibir. Ia menghela nafas untuk separuh sekon karena setelahnya orang yang Leo maksud menyingkap dadanya dan Davin ke kotak pintu berbahan kayu itu.

"Masuk."

Sing bergeming. Dirinya menatap dua temannya bergantian seolah meminta penjelasan lebih mendetail terkait ajakan si Edward Cullen kw tadi.

"Halah, ngikut aja buru! Bentar lagi hujan," anehnya, saat Leo tutup mulut hujan benar-benar terjun menjadi gumpalan air rintik bernama gerimis.

"Halo?" Timbul kepala bermuka tampan dari kusen jendela, itu si anak pemilik kost.

Davin yang lebih dekat dengannya terjingat seraya berujar, "ihh sereemmm,"

"Masuk!" Kali ini sebuah perintah. Yang mungkin Leo dapat menyimpulkannya menjadi suatu gertak tak menerima tolak.

Mereka bertiga masuk. Pemandangan kesatu yang terlihat yaitu sebuah sofa usang berwarna merah dengan bunga sebagai pewarnanya. Ada meja juga disitu, berukuran mini tanpa menyediakan jamuan berupa snack renyah atau roti kering.

Leo duduk berhadapan dengan si anak pemilik kost. Gesturnya kikuk namun mempunyai kesan mirip putra mahkota yang duduk disinggasananya.

Davin berada dibalik sofa tunggal Leo dengan kedua tangan memegang ukiran kayu diatasnya.

Sing jelas beda lagi. Persepsinya lebih ngenes; memilin cardigan seakan itu adalah tepung beras yang bisa berubah jadi bungeoppang kapan saja.

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Where stories live. Discover now