26

333 78 22
                                    

Waktu maghrib Zayyan tiba di kompleks perumahannya usai setengah hari menghadiri acara pernikahan teman lama. Ia mengayuh sepeda ungu memasuki Gang Zodiak yang berliku. Didalam keranjangnya terdapat paper bag yang ia dapatkan dari acara resepsi. Berisi mug happy wedding A&Z serta gulai kambing yang dijarah Zayyan diam-diam.

Pemuda tampan itu menghembuskan nafas panjang lelah mengoperasikan kendaraan bututnya dari barat belok selatan lalu ke timur dan berujung pada barat lagi. Besok-besok apabila Ayah Zayyan mengirim segepok dolar---walau jatuhnya cuma mimpi disiang bolong, dia akan membeli motor baru. Titik.

Usahanya berbuah manis. Zayyan pun tiba diarea blok Barat yang menyediakan puluhan kost sedehana milik Tuan Kim yang Terhormat. Zayyan turun dari sepeda, menuntunnya menuju rumah karena jika bersikeras dinaiki, maka besar kemungkinan dia akan jatuh karena tanahnya becek.

Atensinya terjun pada salah satu kost bercat putih tulang dengan lampu menyala diruang tamu. Jarak yang terpaut agak mendingan tidak membuatnya bersikap abai, justru pemuda itu sejenak menghentikan tumitnya melangkah.

"Wah, permainannya baru dimulai." Monolog Zayyan, ditangkap sayup-sayup angin yang terbang menyapu dahan diatasnya.

Zayyan mengulas sebuah senyum tipis. "Selamat membingung lo, Husein." Lirihnya. Artian yang mengandung teka-teki. Tidak satupun orang mampu memperinci kalimatnya.

"Yan!"

Terhentak sekilas, siluet kekar berjas hitam mencoba menyulap renggang menjadi hampir mendekati. Zayyan menolehkan kepala, dilihatnya Ayah Gibran memberi lambai tangan berniat menyapa.

"Eh, Pak Kim." Sapa Zayyan seraya membungkuk sekadarnya sebagai tanda hormat.

"Kamu habis darimana? Kok bajunya rapi bener," tanya Tuan Kim menyadari ada yang salah dari pakaian yang pemuda tupai itu kenakan.

Zayyan memang merubah penampilannya lebih rapi juga elegan. Tidak biasanya lelaki itu memakai setelan batik berkerah yang dipadu dengan bawahan berwarna gelap. Tuan Kim agaknya bingung jenis batik asal mana yang Zayyan pilih itu.

"Oh, ini, saya dari kondangan Pak. Bapak sendiri kenapa malam-malam ada diluar rumah?" Jelasnya.

Menyengir ganteng ala bapak-bapak pemegang saham yang tajir melintir, Tuan Kim sombong memegang kerah baju dilehernya. "Saya buka cabang restoran baru di jalan Sudirman Yan. Menunya, sih, dibikin kayak khas negera Gingseng biar lebih menarik gitu. Ini acaranya baru selesai. Kapan-kapan mampir yuk! Khusus kamu, saya yang traktir."

"Terima kasih, Pak, gak perlu repot-repot." Zayyan tolak dengan halus. "Saya aja udah bosen makan daging terus dari Bapak. Lain kali deh,"

"Ya terserah kamu maunya gimana." Tuan Kim memaklumi sungkan Zayyan. Memang yang benar seperti ini. Dibaiki, tapi gak ngelunjak.

"Oh ya, Yan, kamu lihat Gibran gak? Saya coba telepon berkali-kali gak diangkat. Niatnya, sih, saya kepengen ngasih dia pekerjaan jadi pengelola keuangan di restoran itu. Mana, ya, tuh anak?" Lanjut beliau garuk-garuk alis.

"Pak Kim makin hari hartanya nambah terus. Padahal udah punya kost sekereta, ladang kebunnya berhektar-hektar, toserba juga yang paling rame sekota Jogja, eh masih aja buka usaha lain. Saya jujur iri sama Gibran Pak." Ucap Zayyan mengiri namun tidak bermaksud menyindir.

Tuan Kim kaget lantas mengibaskan tangannya didepan muka anak itu malu-malu. "Ah, kamu! Nggak. Saya bukannya apa, Yan. Ini semua juga buat masa depan saya sekeluarga. Semacam investasi mungkin?"

Zayyan spontan mengubah mimik wajahnya menjadi datar.

"Nah, kan, jadi lupa. Nanti kalau semisal kamu ketemu Gibran dijalan, hubungi saya. Tuh anak kerjaannya nganggur terus! Kalau gak makan, minum, ya main sama tanah dipinggir---"

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Where stories live. Discover now