19

283 76 25
                                    

“LO STRES BANG?!”

Pemuda dengan surai kebiruan yang terlihat nyentrik dipandang mencela Husein. “Mana ada orang bergantung sama takdir pakai kocokan arisan kek gini?” Lanjut ia mencerca usulan gila pemberian dari pria itu.

Semua orang jelas tidak akan pernah menyetujui perkataan Husein yang mana untuk mengambil keputusan mengorbankan seorang sebagai persembahan si peneror dengan menggunakan mainan anak kecil seperti ini.

Davin sanjung ucapan wain kala mendumal penuh kesal kepada si Tertua. “Bener kata bang Wain. Gue gak akan setuju.”

“Iya udah, kalau gitu siapa yang nolak dia yang harus dikorbanin.” Sela Husein tak mau bertele. Ia sanksi seluruh awak yang bersila dihadapannya dengan atensi paling keruh dan seram.

“KOK LO MAKSA?!” Jerit Davin ancang-ancang hendak menyerang Husein.

Leo yang ada disampingnya lantas bertindak mengunci gerak bogem yang siap sedia dilayangkan untuk lelaki itu.

“Karena situasi ini udah urgent banget Dav! Cepat atau lambat bakalan ada salah satu dari kita yang dibidik. Dan sebelum nyawa kita mati ditangan peneror itu, harus ada seseorang yang rela ngorbanin nyawanya buat kami.”

Hening mengambil alih suasana genting dalam kos. Kebisuan maupun kikuk badan tak menunjukkan tanda-tanda adanya penawaran dari argumen pemuda Won. Mereka ribut dengan hati masing-masing.

“Maksud lo ‘kami’ siapa bang?” Selang beberapa saat, Leo mulai menanggapi perkataannya. “Jadi secara gak langsung lo udah ngerencanain supaya temen-temen lo yang jadi tumbalnya begitu? Dan lo sendiri akan terbebas dari incaran si peneror?”

Sing dan Davin tersadar ada benarnya juga dari kalimat Leo tersebut. Keduanya menatap pemuda yang bergestur santai memegangi toples kematian dengan raut menuntut sebuah jawaban cepat.

“Wah! Ide bangsat lo hebat juga,” Leo bertepuk tangan wujud daripada bentuk cercaan.

“Apa jangan-jangan lo mau salah satu dari kita yang mati terbunuh kayak temen sekamarnya bang Lex??” Tanya Sing.

Mendengar itu, Davidn mendelik takut-takut. “NGGAK!” Dia menutup kedua telinganya sambil memejam. “JAHAT LO KALAU BENERAN ADA NIATAN KAYAK GITU.”

“Dengerin gue dulu Dav! Gak perlu lo tuduh gue macam-macam.” Husein bergegas mengkilah dengan embel-embel meminta pengertian.

“Iya terus maksud lo bikin undian kertas yang tertulis nama kita semua apa bang Huss???” Bomsu pun ikut memberi sanggahan. Meski mereka sudah lama tinggal bersama, bukan begitu Bomsu akan setuju dengan rencana nekadnya.

“Kalian masih inget gue pernah cerita tentang komplotan begal waktu itu gak?” Tanya Husein seraya menatap keenam teman-temannya secara berganti. Tatapan terakhir jatuh pada Lex yang terus terdiam walau bisa saja dia menjawab pertanyaan itu melalui anggukan ataupun gelengan.

“Hari ini gue ketemu sama orang yang wajahnya super datar disamping makam sehabis pulang ziarah. Dia ngasih gue peringatan untuk waspada. Sebut aja ini adalah perjanjian dimana kematian salah satu dari kita emang dari awal digunain buat timbal balik seseorang yang punya kontrak sama peneror itu. Dengan kata lain, bayarannya.”

“Jadi sejak dulu emang ada yang pengen numbalin kita?” Tanya Wain panik.

“Iya.”Jawab Husein dingin. “Buktinya aja udah didepan mata.”

“Gue agak curiga sama bang Lex.” Leo tiba-tiba menceletuk ditengah kebimbangan memikirkan siasat Sang Peneror.

Lex menjawab tanpa rasa takut. “Gue bukan orang jahat.”

“Bahkan orang baik sekalipun juga bisa bersalah, loh, bang.”

“Tapi bukan gue---“

“Berisik!” potong Bomsu yang sudah mulai capek menghadapi kelakuan menjengkelkan peneror dengan mengincar nyawa seseorang. “Iya udah, ayo mulai diundi nama siapa yang bakalan keluar dari toples itu. Dipikir-pikir, gak ada salahnya ngorbanin satu nyawa asal nyawa orang yang lebih banyak aman.” Katanya.

“Jadi sekarang lo egois juga, bang Su?” Imbuh Leo ganti membidik Bomsu dengan mata elangnya.

“Nggak egois, Le. Gue cuma berpikir realistis. Gak ada yang mau mati konyol karena teror.”

Tidak ada lagi yang menyela. Husein sedikit lega dapat memulai mengocok toples itu agar secepatnya tahu siapa dari mereka bertujuh yang akan berakhir tragis andai penerornya memang hendak menargetkan si korban sebagai tumbal.

Semua pemuda memasang matanya dengan jeli ketika satu tangan Husein terulur ketengah-tengah untuk mengeluarkan satu kertas yang telah dilipat supaya nama mereka tidak sampai diketahui.

Pada detik-detik snack kertas saling bergoyang dan bertumbrukan dengan sisi toples yang elastis, lubang kecil akhirnya berhasil memuntahkan satu buah isinya yang kemudian jatuh diatas karpet.

Husein mengambilnya dengan hati-hati. Sementara Lex, Bomsu, Wain, dan Sidaleo menanti Husein membacakan apa yang tertulis pada kertas tersebut. Pemuda tertua mengangkat wajahnya ke hadapan seseorang yang tengah menggigit bibir bawahnya dengan perasaan cemas.

“Sing.” Panggil Husein. “Nama lo yang muncul.”

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Where stories live. Discover now