07

6.7K 973 117
                                    

“Jaemin! Ayo bicara!” Omel Haechan di tengah tangisnya seraya mengguncang tubuh Jaemin membuat ingatan kelam pemuda itu buyar.

Jaemin memejamkan matanya dengan tangan mengepal, dadanya naik kala meraup udara, nafasnya tercekat lagi saat mulutnya terbuka untuk mencoba bicara.

“Jangan bersuara, jangan melakukan apa pun sampai Baba datang”

“Bicaralah Jaemin! Beritahu mereka bahwa kau tidak bisu!” Omel Haechan di tengah Isaknya.

“Jangan! Sampai Baba datang”

“Mengerti?”

Jaemin menggeleng saat suara sang Baba sebelas tahun lalu mengisi kepalanya. Dia merasakan kepalanya berdenyut nyeri membuatnya langsung meremas kepalanya sendiri.

“Haechan! Haechan sudah” Renjun melerai, dia menarik Haechan yang masih memaksa Jaemin untuk bicara, sedangkan Chenle langsung merengkuh Jaemin.

“Kau terlalu keras padanya” Ucap Renjun mengusapi pundak Haechan agar temannya juga tenang.

“Aku lelah dengan orang-orang ini” Isak Haechan mengusapi air matanya yang mengaliri pipinya dengan deras, dia tatap Jaemin yang sesenggukan tanpa suara dalam rengkuhan Chenle.

Sementara siswa lain masih mematung, menjadikan tangis Haechan dan Jaemin sebagai tontonan. Mark menarik nafas dalam lalu berbalik menatap Jeno.

“Bicara denganku!” Bisik Mark dingin lalu melangkah.

Jeno menghela nafas berat lalu beranjak dari sana menyusul Mark membuat yang lain pun, perlahan beranjak dan menyisakan Jaemin, Haechan, Renjun dan Chenle di stadion.

Bruk!!!
Jeno terpental saat Mark mendorong kuat tubuhnya, beruntung pemuda itu mampu menjaga keseimbangan tubuhnya hingga ia tak jatuh.

“Mana surat panggilan wali murid?” Tanya Mark.

Jeno membuang pandangannya selepas mendengar pertanyaan sang kakak, dia mencebik lalu mengeluarkan amplop putih dari saku celananya. Dan Mark langsung menyambarnya dan memeriksa isi surat itu. Dia tatap adiknya tajam setelah membaca surat panggilan itu.

“Bagaimana kau akan memberi tahu ini pada Taeyong Hyung?” Tanya Mark memukul Jeno dengan amplop itu, sementara sang adik hanya menunduk.

“Tidak bisakah kau untuk tidak membuat ulah? Kau tidak kasihan pada Taeyong Hyung?” Tanya Mark menuntut membuat Jeno terdiam seribu bahasa.

“Kau bisa bayangkan jika dia tahu? Dia berjuang sangat keras untuk kita berdua, kapan kau akan berhenti seperti ini?” Omel Mark.

“Dia menjadi orang tua untuk kita berdua, ku mohon. Pikirkan dia sekali saja, dia bahkan tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Berhenti egois!”

“Pikirkan bagaimana kau akan mengatasi ini tanpa Taeyong Hyung tahu, mengerti?” Tanya Mark seraya memberikan surat itu kembali pada Jeno.

“Kau tahu, tindakanmu pada Jaemin, menimbulkan bibit pembunuh. Kau membunuh mentalnya” Omel Mark menatap Jeno tajam, lalu setelahnya pemuda itu beranjak dari taman menyisakan sang adik sendiri yang hanya diam.

“Aishh” Umpat Jeno seraya membanting amplop itu ke udara.

Pemuda itu mengusapi wajahnya masih dengan dada naik turun memburu karena emosi yang tak bisa ia luapkan. Hubungannya dengan Mark selalu seperti ini, namun dia tak pernah berani lebih dari sekedar beradu mulut dengan sang kakak.

Sedangkan Jaemin masih sesenggukan di kursinya, satu tangannya mengusapi hidungnya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah, sementara Haechan masih menatapnya dengan mata sembab.

Dandelions [NOMIN]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang