04. Mama?

103 6 0
                                    

VOTE.

***

Putaran jarum jam bak air terjun di tengah hutan. Hening menyertai ruangan besar yang dihiasi ornamen-ornamen mahal. Terpampang di dinding sebuah figura dua orang tengah tersenyum bahagia mengenakan sepasang pakaian nikah. Sedangkan di salah-satu sofa berbentuk L terdapat seonggok daging berotot serta memiliki tulang tengah berbaring santai.

"Kata Ayah lo berhenti les. Kenapa?"

Dalam diam Alfa berdecak ketika kakak perempuannya duduk di sofa lain. Perempuan tinggi yang merupakan penyanyi lulusan Indonesia Idol itu mengarahkan matanya tepat pada sang adik. Ada guratan tak suka di wajah ayunya. Alfa sendiri sudah sangat hafal apa penyebab ekspresi itu. Ekspresi yang hanya ditunjukkan padanya.

"Capek."

"Lebih capek gue kali." Varisha meluruskan kaki jenjangnya. Tangan dia sibuk memasukkan es krim ke dalam mulut. "Mending lanjut lagi. Daripada enggak ada kerjaan."

"Merasa udah pinter lo?" Side eyes Varisha mendongkolkan Alfa.

Alfa bersyukur memiliki ayah tak banyak menuntut, tetapi dia terganggu akan kehadiran Varisha. Perempuan yang sialnya kakak dia satu-satunya ini selalu saja menuntut dia agar bisa meneruskan sang ayah untuk memimpin perusahaan beliau.

Meskipun nama Varisha tengah digadang-gadangkan oleh masyarakat sebagai penyanyi kondang, disisi lain juga dia memiliki mindset kuno bagi Alfa. Hanya laki-laki yang boleh menjadi pemimpin, laki-laki harus bisa segalanya, laki-laki adalah raja. Di abad ke 21 ini, sudah banyak perempuan menjadi pemimpin, banyak perempuan hebat, banyak juga perempuan yang mengalahkan kemampuan laki-laki. Varisha dan mindset kunonya menutup mata akan hal itu. Andai saja masyarakat Indonesia tahu pola pikir penyanyi cantik ini.

"Tugas lo tinggal ngejalanin les, semuanya biar gue urus."

"Gue gak mau."

"Jangan ngebantah!" seru Varisha, emosi mulai hadir. "Semenjak Mama enggak ada, saat itu juga—"

"Saat itu juga lo ngatur-ngatur hidup gue." Alfa tetap berucap tenang wakau dia pun sama emosinya. "Seandainya Mama masih ada. Gue yakin dia enggak seover lo."

"Lo anak laki-laki satu-satunya. Harusnya lo sadar dong tanggung jawab lo apa. Jangan seenaknya!"

"Seenaknya gimana, Anjing?!"

"Tuh, kan. Gara-gara kebanyakan bergaul sama orang-orang enggak ber-attitude bahasa lo jadi jelek. Mulai sekarang gue bakal membatasi pergaulan lo."

"Serah lo, bangsat!" Alfa berseru tak peduli bagaimana marahnya Varisha saat ini. Kakak perempuannya tersebut merasa tak dihargai dilemparkan kata-kata tak layak.

Muak hadir seketika itu. Dia melempar bantal sofa agar amarahnya terlampiaskan, kemudian berlalu dengan napas memburu. Sontak perbuatannya mengundang emosi Varisha. Selalu seperti itu. Padahal niat Varisha baik. Dia ingin adik satu-satunya itu berubah lebih baik. Dia ingin Alfa tidak menyesal suatu saat. Sebagai seorang kakak, Varisha merasa bertanggung jawab atas pergaulan Alfa agar Alfa tidak seperti remaja-remaja nakal.

"ALFA ZEGRA KAIVANDRA!"

"Kenapa lagi?" Varisha berpaling ke arah seorang pria paruh baya yang merupakan ayahnya.

"Ayah kenapa sih biarin dia bergaul sama orang-orang enggak bener? Lihat sekarang. Bahasanya jadi jelek!"

"Biarinlah. Namanya juga anak muda." Grio yang tengah membawa secangkir kopi, mendaratkan bokong di sofa. Menyesap sebentar kopi yang masih terdapat asap mengepul itu sebelum dia mendaratkan atensinya pada Sang Putri.

Cigarettes and Strawberry MilkWhere stories live. Discover now