3 : Buku Dongeng Ovie

88 30 20
                                    

3 : Buku Dongeng Ovie

Sameer duduk sendiri dalam ruangan yang gelap. Dia memutar-mutar ponselnya dengan lampu senter menyala. Pria itu duduk di atas ranjangnya dan bersandar di tembok.

Lagi-lagi malamnya dihiasi dengan perasaan yang seperti kata Ovie, "tiga G, gelisah gundah gulana". Sameer sengaja mematikan lampu kamar kostnya, dia tidak suka ada cahaya berlebih saat sedang galau.

Kejadian sore tadi masih terngiang di pikirannya. Obrolan hebat bersama Sanjana yang masih belum ada titik terang untuk mengakhirinya.

"Kamu sayang nggak sih sama aku?" Tanya Sanjana kala itu.

"Sayang," jawab Sameer jujur. Sanjana tersenyum bahagia. Hingga Sameer melanjutkan, "gue sayang Sanjana yang dulu. Sanjana yang manis, nggak semena-mena, nggak posesif berlebihan, dan yang paling penting, Sanjana yang menghargai gue."

Senyum Sanjana memudar, terlihat kesedihan mendalam di matanya. Tapi, Sameer tak melihat sekilas penyesalan di sana. Yang artinya, Sanjana masih tak merasa bersalah.

"Bukan maksud gue egois, San," sambung Sameer. Dia memandang mata Sanjana lekat. "Hubungan harusnya berjalan bersama dari dua arah, kita nggak bisa memutuskan segalanya atas kehendak sendiri. Setiap kita beda pendapat, lo selalu menganggap gue salah. Alih-alih mendiskusikannya."

Sameer merasa sedikit lega akhirnya bisa menumpahkan semua yang dirasakannya. Tapi, tetap saja terasa sakit.

"Gue berusaha menghargai lo selama ini, berharap lo melakukan hal yang sama ke gue," tambah Sameer dengan suara berat. "Tapi gue salah, harusnya gue nggak pernah berharap. Gue sadar kalau ini adalah diri lo yang sebenarnya, mungkin yang dulu lo sembunyikan dari gue."

"Sam, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," balas Sanjana ditengah isakannya. Gadis itu menangis semakin jadi. "Aku nggak pernah berubah, aku selalu seperti ini, selalu sayang sama kamu."

Sameer diam, mulutnya tiba-tiba berat untuk digerakkan. Menghadapi Sanjana yang teguh pendirian, terasa melelahkan. Gadis itu bersikap tak bersalah sama sekali.

"Sayang, aku nggak mau putus." Sanjana memohon dengan manik di matanya yang membuat siapapun sulit menolak. "Kita lanjutkan hubungan ini, ya? Aku janji akan selalu ada di samping kamu, kita laluin semua bersama."

"Gue nggak mau," tolak Sameer mentah-mentah.

"Sayang," rengek Sanjana. Dia memegang lengan kiri Sameer yang kekar dengan erat. Sayang sekali langsung ditepis oleh sang empunya.

"Jangan panggil gue 'Sayang', kita udah putus," tegas Sameer.

"Aku nggak mau putus, Sam," bujuk Sanjana lagi.

"Terserah."

Sameer beranjak ke motornya. Memakai helm, memasang kunci, dan menyalakan mesin. Pria kelahiran 6 Januari 1998 itu mengabaikan Sanjana yang mengejar sambil menyerukan namanya berkali-kali.

"Sam, jangan pergi. Sameer, tolong, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Sameer!"

Sameer melajukan motornya, menjauh dari jangkauan Sanjana. Tapi masih bisa dengar teriakannya.

"SAMEER!!!"

Sameer tersentak saat lampu kamar kostnya tiba-tiba menyala, membuyarkan lamunannya. Matanya tertuju ke pintu yang memunculkan sosok pria dengan wajah lelah.

"Kok lo udah balik?" Tanya Sameer spontan.

"Lo nggak lihat ini udah jam berapa?" Ovie balik bertanya sembari meletakkan beberapa buku di atas meja.

AINA KACA (The Light's Stone)Where stories live. Discover now