lima.

6.3K 728 58
                                    

Kaki baru saja melangkah masuk, telinga sudah mendengar teriakan nyaring, Juna mendapati asal suara itu dari Abian.

"Juna! Woi Juna, gue mau pulang, telfon pak Tatang plis. Hp gue, hp gue ketinggalan, gue ngga bisa hidup  di desa kulot ini tanpa hp."

"Hey hey, tenang dulu okay, tenang Bi." Juna berjalan menghampiri Abian, sedang uring-uringan, tidak bisa tenang memikirkan benda kecil persegi panjang itu.

"Apasih anjir, gue ngga bisa tenang, hp gue ketinggalan, tau ngga sih." Sipit Abian mendelik tajam, walau tidak menolak aksi Juna menariknya duduk ke sofa.

"Usahakan ngga usah langsung kalang kabut kalau ada apa-apa Bian. Ngga ketinggalan kok hp nya, ini sama saya, kamu bikin panik orang Bi." ujar Juna, menyerahkan sebuah ponsel pintar pada pria di sebelahnya.

Tanpa melihat Juna, Abian tersenyum senang, matanya berbinar, tangan terulur mengambil ponsel yang ia khawatirkan, "Ya salah lo lah, siapa suruh ngga tanya dari awal, gue kan ngga ngga tau." Mengangkat wajah, memberikan jelingan mata pada Juna.

"Kan kamu ngga tanya, Bi."

Abian baru tersadar, sejak kapan namanya dipenggal, tidak pernah ia dipanggil seperti itu, hanya Juna, pria yang katanya suaminya, tapi terserah sih, tidak ada urusan juga dengan hal itu, tidak penting.

"Terserah lo, gue mau rebahan."

Kegiatan Abian yang ingin berbaring di atas sofa terhenti, "Istirahat di kamar saya aja, di pintu sana, ngga enak kalau baring di sofa, pegal." Tangan Juna ia bawa menunjuk ke salah satu pintu, walau kesal Abian tetap mengikuti.

Setelah memastikan Abian telah masuk beristirahat, Juna melanjutkan menyusun barang-barang, mulai dari barang milik Abian hingga barang-barang yang telah ia beli untuk keperluan rumah tangga, bagaimanapun, ia sudah tidak lagi tinggal sendiri, ada satu orang lagi yang akhirnya menjadi tanggung jawabnya.

Lumayan lama Juna berkutat dengan kegiatannya, barang telah tersusun, menyisakan kotak-kotak kemasan sebagai sampah, Juna membereskan segalanya, lalu keluar membuang sampah yang dihasilkan dari kegiatannya.

Kini hanya tersisa dua koper besar, baju-baju milik Abian. Juna menggeret koper, menuju kamar miliknya yang pintunya sedikit terbuka, sepertinya Abian tidak menutup pintu dengan benar.

Menyadari ada pergerakan, sipit Abian melirik sebentar, lalu kembali menonton video video singkat pada ponsel, mengabaikan Juna yang baru saja masuk membawa dua koper berisi baju-bajunya.

"Baring nya dibenerin dulu Bi, ngga usah tengkurap."

Abian berdecak malas, "Lo bacot banget, asli dah." Walau begitu, Abian masih tetap menuruti perkataan Juna.

Abian sendiri sebenarnya heran, kenapa bisa ia nurut seperti ini, bukan sikap nya sekali. Tapi otaknya berpikir, mungkin dirinya bisa menjadi nurut karena dirinya terlalu tidak peduli, terlalu malas, tidak suka, karena bahkan untuk berdebat saja dirinya tidak mau.

"Udah mulai sore, nanti kamu mau tinggal di rumah atau ikut saya?"

Pertanyaan Juna berhasil mengambil atensi Abian yang berbaring di atas kasur.

"Mau pergi beli stok kulkas, saya liat barusan udah mulai kurang." jawab Juna saat melihat tatapan tanya mengarah padanya.

"Naik motor?"

Juna mengangguk, melihat itu Abian kehilangan minat, tidak berniat untuk ikut, tidak ingin berpanas-panasan, walau matahari sekarang sudah lebih bersahabat.

"Skip, malas." jawab Abian.

Juna mengangguk, "Kamu mau nitip sesuatu?" tanya Juna lagi.

Abian tampak berpikir sejenak, "Mau nasi padang."

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Where stories live. Discover now