tiga puluh.

6.3K 719 190
                                    

Awalnya, sebelum mendapatkan telpon dari Nanang, Abian memilih untuk tidak pulang ke desa, niatnya ingin tetap berada di rumah karena merasa marah pada Juna. Ia menganggap bahwa alasan Juna melarang nya pulang masih sebatas permasalahan tidak izinnya kemarin.

Tidak menyangka ternyata, alasannya tidak sesederhana itu, tanpa pikir lagi ia kemasi barang bawaannya untuk segera pulang.

"Lo ngapain? Bukannya kita ngga jadi pulang?" Suara dari balik pintu tidak menganggu Abian dalam mengemasi barang-barangnya kedalam tas.

"Kita pulang sekarang." Ujar Abian, seolah kalimat nya tidak dapat dibantah.

Anin melangkahkan kaki mendekat, "Gue udah di telpon kak Juna tadi, katanya lo juga udah di tanyain. Pokoknya hari ini ngga ada pulang pulang, gue udah keburu mager." Tubuh ia rebahkan pada kasur empuk milik kembaran nya itu.

"Yaudah kalau lo ngga mau anterin, gue pergi sendiri aja."

Mendengar kalimat dengan nada tak acuh, refleks Anin langsung kembali terbangun, melihat Abian yang memang tidak ada niatan untuk menunda kepulangan pada hari ini.

"Jangan macem-macem deh Bian, lo lagi bawa anak anjir. Besok-besok aja kenapa sih, lagian kita udah kesorean kalau mau berangkat sekarang, gue ngga mau harus nginap di sana karena kemalaman."

Abian menghentikan gerakannya, ia hadapkan diri pandangi wajah sandiwara Anin yang mencari seribu alasan untuk menahannya, "Gue udah tau, Nin. Udah kesebar kan pernikahan gue sama mas Juna, gue yakin lo juga udah tau dari mas Juna langsung. Jadi ngga perlu lagi lo bersusah payah nutupin dan tahan gue untuk pulang," ujarnya berhasil membuat wanita yang berada di atas kasur terdiam beberapa saat.

"Anjir, pasti dari dua dayang lo itu kan?" Tebak Anin, pasalnya ia sudah sangat tau jika Abian itu memiliki dua orang yang selalu menempel, jadi pasti Abian tau dari mereka. Pasti.

Seolah tidak peduli, Abian langsung bergegas keluar, tentu saja Anin mengikuti dari belakang dengan langkah buru-buru, takut Abian benar-benar nekat berangkat sendiri. Saat melihat tidak ada candaan, barulah Anin memutuskan untuk menghantarkan kembarannya itu pulang.

"Yaudah tunggu gue anjir! Bentar, gue ambil tas dulu, lo jangan nekat nyetir sendiri ya monyet. Hedeh punya saudara ngerepotin aja anj." Dengan sedikit berlari Anin menuju kamar, masih sempat mengomel karena Abian yang sungguh merepotkan.

Suasana mobil hening, hanya deru mesin yang membelah jalan, Anin lirik pria di sebelah, walau terlihat tenang Anin tau jika kepala pria itu sedang ribut, terlalu gampang menebak jika perasaan kembarannya saat ini tidak tenang.

"Lo pasti udah tau kenapa kak Juna ngelarang lo untuk pulang kan? Bahaya Bian, dan kak Juna ngga mau lo kenapa-kenapa."

Abian tidak menoleh, kepalanya masih terpaku fokus pada jalanan di depan, "Maka dari itu," ia jeda kalimat, setelahnya mengubah duduk sedikit menyamping ke arah Anin, "Coba lo pikir, memangnya gue bisa tenang setelah dengar hal ini? Bahkan suami gue di sana bisa bonyok digebuk warga, gue ngga bisa Nin," lanjutnya, air mata juga ikut lolos saat kata demi kata berhasil keluar dari bibirnya.

Anin terdiam, memberikan waktu pada Abian untuk melupakan segalanya. Ia tau, Abian juga sebenarnya sedang takut, sedang bingung, tapi tetap nekat ingin bantu walau sebenarnya buntu.

Sebenarnya wanita itu tidak mengerti, kenapa luka harus muncul sekarang, waktunya sangat tidak pas, dan jujur saja, dulu, sungguh ia sangat menyesal pernah mengusik rumah tangga saudaranya, tapi sekarang, tidak bisa rasanya melihat keluarga itu terusik lagi, siapapun yang mencoba ganggu, akan Anin bereskan tanpa ragu.

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Where stories live. Discover now