dua puluh.

6.6K 701 19
                                    

Ketika pagi telah tiba pun Abian masih belum mendapatkan sikap hangat dari Juna. Saat membuka mata, sudah tidak ada lagi Juna di sebelah, tidak ada lagi ucapan selamat pagi, senyum hangat, dan kecupan manis pada dahi maupun keningnya.

Jujur Abian merasa hampa, tapi dirinya juga tidak tau alasan mengapa Juna bersikap demikian, padahal ia bisa saja marah jika mau, karena ia memang tidak mempunyai kesabaran sebesar itu, tapi Abian tidak bisa, entah kenapa.

Abian langkahkan kakinya untuk segera bebersih singkat, menghampiri Juna yang sudah pasti berada di meja makan. Sipit Abian memperhatikan Juna di sana, menyiapkan sarapan pagi.

"Pagi..." Abian menyapa, namun tidak ada balasan, hanya lirikan singkat yang Juna berikan. Abian membawa bahunya yang merosot lelah, duduk di salah satu kursi.

Juna menyajikan sarapan di depan Abian, sekaligus menuangkan air pada gelas suaminya, semuanya Juna lakukan untuk memastikan acara sarapan si kecil nyaman, walau ia lakukan dengan bersikap acuh tak acuh, "Kamu makan sendiri dulu ya, saya mau berangkat sekarang," ujarnya setelah memastikan segala kebutuhan akan sarapan suami kecilnya terpenuhi.

Abian memandang Juna, memang terlihat sudah rapih dengan pakaian kerja nya, Abian kembali memandang Juna dengan tatapan sedihnya, "Mas kalau marah jangan sampai ngga makan juga dong, malas banget," kesal Abian tapi lebih ke sedih juga, karena Juna terlihat jelas menghindarinya.

Juna melihat itu, mulai bingung mencari alasan untuk menolak, "Saya sudah makan Bian," jawab Juna pada akhirnya.

Kening yang lebih muda mengerut tidak suka, "Pake saya saya terus, mana panggil nama juga lagi, biasanya juga ngga gitu, sekarang terserah lo deh. Sana lo kerja, ngga usah pulang sekalian, biarin aja gue ngga makan seharian, biar nanti gue pingsan kekurangan gizi, terus orang-orang jadi tau kalau lo ngga bisa kasih makan suami sendiri." Ujar Abian mulai kesal, apakah pengaruh hormon itu benar adanya? Soalnya sangat cepat sekali perasaannya berubah. Abian bingung sendiri.

Yang lebih tua juga tidak kalah bingung, dari kemarin Abian berhasil membuatnya terkejut akibat sifat suaminya itu yang tiba-tiba berubah, jika Juna sedang tidak berada dalam posisi sekarang, sudah pasti Abian tidak akan pernah bisa lepas dari pelukan serta hujaman kecup gemas darinya.

Tapi karena masih mempertahankan pendirian nya, Juna mau tidak mau harus tetap bersikap cuek, namun tetap mencoba membujuk suami kecilnya itu agar mau memakan sarapannya, "Makan Bi, kamu kalau ngga sarapan bisa kambuh maag nya," ucapnya, ada nada kekhawatiran di sana.

Abian cuek, ia hanya melirik sinis pada Juna, "Gue males makan sendiri, lagian peduli apa lo sama gue? Sana dah, nanti telat lagi, kan lebih penting urusan lo itu dibanding gue mau makan atau ngga," balasnya ketus, sungguh kekanakan sekali memang Abian saat ini.

Juna tatap suaminya itu, Juna tau Abian itu sedang merajuk lucu, tapi karena benar-benar khawatir terpaksa Juna kembali mendekati si manis yang terlihat ogah-ogahan berada didekat nya, padahal Juna sering mendapati suami kecilnya itu sedang mencuri-curi padang ke arahnya. Sungguh Juna ingin memberikan ciuman pada bibir yang maju dengan lucu itu.

"Yaudah saya temenin makan nya."

Ada perasaan senang yang dirasakan Abian, "Tapi gu-"

"Iya Abian, saya suapin."

Abian sontak tidak dapat lagi menahan senyuman pada wajahnya, ia pandangi Juna yang telah mendekatkan kursi, menggeser kursi agar mereka duduk berhadapan. Walau masih tidak ada senyuman di sana, tapi Abian tau jika Juna tidaklah semarah itu, tugasnya sekarang hanya mencari alasan mengapa suaminya itu berperilaku jutek.

Pada akhirnya Juna harus menunda waktunya sebentar demi menyuapi suaminya yang tiba-tiba sangat manja tidak ingin makan dengan sendirinya.

***

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Where stories live. Discover now