4

157 15 4
                                    

"TOLOL, YA?!" Elena ditampar di depan teman sekelasnya. Rasanya pedas dan suaranya nyaring sampai membuat gadis itu menangis.

"BUKU GUE RUSAK GINI TERUS GIMANA TUGASNYA, HAH?!"

Tidak ada yang menyelamatkannya, tidak ada yang peduli padanya, mereka semua hanya melihat tanpa mau peduli. Mereka melihat hanya karena ingin tahu saja. Tatapan-tatapan itu kemudian terekam di kepalanya.

"Tapi itu bukan dirusak sama aku, Sam ...." Suara Elena mencicit. "Kalo kamu marah terus kayak gini ke aku, aku mau putus aja, Sam ...."

"Pfft." Samuel tampak berusaha menahan tawanya namun gagal, ia akhirnya tertawa lepas seolah tak tertarik dengan apa yang tadi Elena bicarakan.

Tawa itu terus berputar di kepala Elena. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada yang lucu?

Kenapa kamu diam?

Kamu payah, harusnya kamu lebih tegas lagi.

Sepulang dari sekolah pun, ia langsung diteriaki oleh Ibunya. "ABIS NGAPAIN KAMU SAMA AYAH KAMU SENDIRI?!"

Tidak, tidak, tidak. Elena menggeleng. Suara gesekan sepatunya dengan lantai menandakan dirinya yang tengah mundur ketakutan seiring ibunya mendekat. Lalu, suara tamparan pun terdengar nyaring, rasanya seperti terbakar.

Hari ini ia total mendapat dua tamparan.

"IBU BENCI SAMA KAMU!"

"Bu ... aku diperkosa ...."

"Terus kenapa kamu gak ngelawan?! Makanya jadi anak jangan genit!"

"Kenapa ibu nyalahin aku? Harusnya ibu nyalahin Ayah!"

Tentu saja, selama ini Elena tidak pernah membantah perkataan ibunya sendiri. Tapi kali ini, ia tidak boleh diam. Namun, lagi-lagi ia mendapat tamparan di sisi wajah yang lain.

"Bodoh!" Pergelangan tangan gadis itu dicengkram, ia dibawa masuk ke kamarnya sendiri untuk kemudian didorong sampai jatuh tersungkur. Wanita setengah baya itu memiliki tatapan tajam seperti pisau, terlihat menyeramkan di mata Elena. Tasnya sudah tergeletak di sampingnya dengan nahas, tas compang-camping yang sudah dari SMP ia gunakan.

Wanita itu mengambil sapu di pojok ruangan untuk kemudian dipukulkan gagangnya berkali-kali ke punggung Elena. Berapa kali pun Elena memohon untuk berhenti, wanita itu tak akan dengan senang hati membuka telinganya untuk Elena.

Elena yang kesakitan membungkukkan punggungnya dengan bertopang kedua lengan.

Lagi-lagi kamu menangis.

Sebelah kaki ibunya mendorong tubuh gadis itu ke samping hingga punggung Elena beralih menyentuh lantai. Sasaran pukulan gagang sapu itu sekarang tertuju ke perutnya. Elena tak sebodoh itu untuk menerima perlakuan seperti itu karena Elena tengah berusaha melingkupi seluruh bagian perutnya agar tak terpukul oleh pukulan gagang sapu tersebut.

Geram, sapu itu akhirnya terlempar kembali ke pojok ruangan dan Ibunya kemudian berjongkok di samping tubuhnya dengan wajah menyeramkan. Elena lagi-lagi tidak bodoh, ia merasa memiliki kesempatan untuk kabur namun sebelah tangannya dicekal hingga perutnya bisa dipukul seenaknya.

Sebelah tangan Elena tentu saja menahan pergerakan pukulan tersebut dengan susah payah, ia juga berusaha menjambak rambut wanita itu agar fokusnya teralih, namun pukulan itu kini beralih pada sebelah wajahnya hingga membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah.

Elena tak dapat menghitung berapa kali pukulan yang ia dapat, yang jelas kini ia tidak bisa bergerak. Wajah dan terutama lehernya penuh dengan darah yang berasal dari dalam mulutnya. Untuk duduk saja ia tak mampu, seluruh badannya terasa remuk sementara Sang Ibu tertawa di atasnya. Wanita itu memberikan injakan terakhirnya di perut Elena.

Wanita itu kemudian berjongkok, ia mengambil beberapa helai rambut gadis itu untuk dijambak. Elena bisa menatap wajah ibunya dengan jelas. Tentu, tanpa seperti itu pun ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ibunya tertawa.

Kenapa kamu selalu payah?

Apa kamu hanya bisa menangis?

if the world is cryingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang