5

151 13 1
                                    

Sejak sore kemarin, Elena tidak keluar dari kamar sama sekali. Ia bahkan membolos sekolah hari ini. Sore itu merupakan sore paling menyeramkan dalam hidupnya. Meski ia kerap mendapat pukulan oleh Ayah dan Ibunya, atau bahkan Samuel, tapi ... yang satu itu sungguh tidak bisa dilupakan dengan mudah olehnya.

Dulu, Elena menganggap pukulan itu memang wajar dilakukan oleh orang tua terhadap anak agar anak itu menjadi pribadi yang tidak nakal dan penurut. Tapi ... tapi kenapa?

Gadis itu berlindung di balik selimut, lampu kamarnya yang sudah padam dan kehilangan dayanya terpaksa membuat seisi kamar gelap.

Bagaimana jika Samuel, Ayah, atau Ibu muncul dari balik kegelapan untuk memukul lagi?

Lalu teman-teman di sekolah ikut hadir untuk menonton?

Kulit di jari-jarinya terkelupas karena saling menggaruk, kedua kaki gadis itu dilipat ke arah tubuhnya semakin erat. Jantungnya berdegup cepat seiring ingatan tawa mereka semua muncul di kepalanya.

Bukannya berhenti, suara tawa itu semakin jelas, banyak, bercampur menjadi satu dan keluar dari kepalanya. Mereka seperti tertawa di sekitarnya. Namun, di antara tawa, ada suara aneh lain yang terdengar.

Elena, butuh bantuan?

Napasnya jadi berat seiring detak jantungnya yang berpacu lebih cepat, perutnya bergejolak membuat gadis itu berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang ia makan.

Elena, biarkan aku membantu.

Meski sudah begitu, paru-parunya masih terasa dijepit dan jantungnya berdegup cepat. Gadis itu kemudian mengusap sudut bibirnya dan berlari ke arah nakas untuk mengeluarkan inhaler dari dalamnya.

Itu tidak akan membantumu, Bodoh.

Dengan tergesa ia menggunakan benda tersebut namun tak kunjung memberikan efek apa pun, tangannya meremat dadanya yang masih terasa sesak.

Percayakan padaku.

Inhaler-nya ia lepas, sementara bibirnya membuka untuk meraup udara di sekitarnya yang terasa hampa.

Tanpa sadar, suara tawa itu sudah hilang entah sejak kapan. Suara gadis itu juga sudah tidak ada. Elena tidak mengerti, tapi sesaknya sudah berkurang.

Pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara ibunya dari luar, "Ada yang nyariin kamu."

Karena dipaksa untuk keluar, gadis itu akhirnya menemui tamu yang sedang berbincang dengan Ayah dan Ibunya di ruang tamu. Elena tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

Samuel datang untuk memukul.

Samuel datang untuk melecehkan lagi.

"Kamu kok punya pacar gak bilang-bilang, sih?" ucap Ibunya dengan senyum manis padanya.

Tidak, tidak, tidak. Bukankah Elena sudah memutuskan Samuel? Lalu, ada urusan apa pemuda itu datang kemari dan mengaku sebagai pacarnya?

"Sebentar, ya, Nak Sam. Saya mau ngobrol dulu sama Elena."

Elena diseret ke arah dapur hanya untuk mendengarkan ancaman dari ibunya untuk tidak berpisah dari Samuel agar ekonomi keluarga mereka terjamin. "Bu, Samuel udah perkosa aku ... aku gak mau!"

"Justru kalo kamu diperkosa terus dibayar malah Ibu seneng!"

Elena dengan wajah penuh air mata dan luka berkata dengan nelangsa, "Aku bukan pelacur dan aku bukan anak Ibu jadi ngapain aku nurut? Ibu jahat...."

"Heh!" Rahangnya dicengkram kuat oleh wanita itu diiringi dengan tatapan tajamnya yang menusuk.

"Kamu itu harus bersyukur udah dipungut sama kita! Kalo enggak, kamu udah mati di luar sana! Pokoknya kalo kamu putus dari Samuel, Ibu bunuh kamu!"

Jantung Elena seperti dihantam sesuatu yang keras hingga membuat matanya membulat penuh. Cengkraman rahang itu dilepas dan gadis itu menunduk dalam.

"Gak usah drama, sana temuin Samuel pake baju yang bagusan dikit! Katanya mau ajak kamu kencan!"

"Kalo lagi diajak ngomong tuh jangan nunduk!" Dagunya diangkat membuat Ibunya dapat melihat hujan air mata di wajahnya. "Drama banget, sih? Kamu mau jadi orang kaya, gak, sih? Udah sana cepet!"

Gadis itu didorong untuk segera pergi ke kamarnya namun tak kunjung bergerak hingga wanita itu harus menyeretnya.

if the world is cryingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang