14 - Dandelion

585 81 0
                                    

"Satu cappucino dan dua brownies."

[Y/N] meletakkan ranselnya lalu mengeluarkan dua buah buku serta satu buah laptop. Beberapa saat sebelum ia tiba di salah satu kafe dengan konsep monokrom, ia menerima pesan dari Ran Takahashi. Gadis itu enggan membukanya langsung, lantas membiarkannya sampai hatinya siap untuk membacanya. Pesan terakhir yang ia kirimkan sebenarnya tidak apa-apa jika tidak dibalas.

Ia menyalakan laptop berwarna putih dengan stiker seekor elang berwarna perunggu serta perisai berwarna biru. Siang ini ia berencana untuk fokus pada dirinya dan buku yang sedang ia garap. Ia sengaja memilih tempat duduk di sudut ruangan dengan sebuah kaca besar di sampingnya, sehingga ia dapat melihat jalan raya dengan segala kepadatannya dari lantai tiga.

Seorang pria sepantarannya menaruh pesanan [Y/N]. Barista kafe tersebut sudah hafal dengannya. Setiap kali ia berkunjung, pria itu selalu melayaninya, entah suatu kebetulan atau tidak. Mereka juga sering mengobrol di kala [Y/N] hanya ingin bersantai tanpa didesak deadline kerjaan.

"Terakhir kau berkunjung dua minggu lalu. Kau sedang sibuk sekali?"pemuda itu menarik kursi di depan [Y/N] lalu duduk. Kafe belum mulai ramai sehingga ia bisa bersantai sejenak. Selain itu, dua orang temannya juga berada di balik meja bar.

"Pekerjaan kantorku, Ben. Lalu sepulang dari perjalanan dinas, aku demam."jawabnya singkat. [Y/N] menyesap cappucino buatan Ben. Ia sudah sering kemari sejak dirinya menggarap buku pertama yang sekarang sudah beredar di pasaran, sekitar setahun yang lalu.

"Kau sakit? Kau tidak ada mengabariku. Jika tahu, aku akan membawa makanan untukmu."kedua mata Ben membulat mendengar pelanggan setia kafenya jatuh sakit. [Y/N] hanya menyeringai tipis.

"Ngomong-ngomong, apa kau juga menonton olimpiade kemarin? Kau dukung negara mana?"tanya Ben mencairkan suasana.

Hati kecil [Y/N] bergetar. Mendengar kata olimpiade membuat dirinya teringat dengan satu negara, Jepang. Ia tidak sadar ekspresinya berubah saat Ben menanyakan hal tersebut. Namun cepat-cepat ia tepis karena tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang.

"Aku menyukai Jepang."

"Jepang. Baru-baru ini tim voli mereka hebat sekali ya. Peringkat mereka naik dari tahun-tahun sebelumnya."

"Ya, aku tahu itu, mereka sangat hebat. Lawan mereka adalah atlet-atlet bertubuh tinggi besar. Suatu pencapaian luar biasa."jawab [Y/N] menjaga intonasi suaranya.

"Kudengar juga salah satu atlet pendatang sudah membuat heboh di berita olahraga. Siapa ya namanya kemarin.. Tanashi, Takeshi, Tadashi..."

"Ran Takahashi maksudmu?"

"Ah, iya benar, Ran Takahashi. Aku menonton beberapa pertandingannya. Momen saat ia melakukan fake set adalah yang terbaik. Semua portal berita membahas tentang itu. Seketika namanya pun langsung naik dan ia dikenal hampir di seluruh negara."Ben tampak menggebu-gebu, seperti layaknya seorang penggemar berat.

"Ben."

"Eh, ada apa [Y/N]?"

[Y/N] menunjuk ke arah meja bar. Salah satu temannya memanggil namun Ben ternyata tidak mendengarnya karena terlalu antusias berbicara. Ben pun langsung berdiri setelah mengucap beberapa kata kepada [Y/N].

Gadis itu melanjutkan pekerjaannya. Jari-jari tangannya bergerak lincah di atas papan ketik. Sesekali ia menguap ngantuk namun ia merasa sangat tanggung tidak menyelesaikannya hari itu juga. Di tengah kefokusannya, tidak lupa ia menyuap brownies andalan kafe, salah satu camilan favorit dan biasanya cepat ludes sebelum sore.

Hari semakin siang dan pengunjung kafe di hari Sabtu semakin ramai. Anak-anak muda dengan pakaian stylish pun berdatangan. [Y/N] memperhatikan jam di atas pintu masuk. Sudah hampir pukul satu siang. Ia sudah cukup lama berada di kafe, menghabiskan dua cangkir cappucino serta empat brownies. Setelah ini ia tidak memiliki rencana mau ke mana. Jocelyn sedang keluar kota dengan ayahnya, urusan bisnis. Sebagai seseorang yang tidak memiliki banyak teman, sebenarnya sudah hal biasa jika ia berjalan-jalan seorang diri.

Dopamine | Ran Takahashi x ReaderWhere stories live. Discover now