Arti Sahabat

338 3 0
                                    

Bagiku sahabat adalah saudara meski tak sedarah. Teman sejati tempat berbagi suka dan duka. Bersama sahabat kita dengan senang hati saling membantu bila ada yang berada dalam kesulitan. Setidaknya itu yang kurasakan dulu sebelum bertemu kembali dengan sahabat lamaku: Mutiara.

Aku dan Mutiara hampir tidak terpisahkan selama kami menjalani kuliah dulu. Bisa dibilang selama empat tahun itu kami selalu bersama. Kamar kos kami bersebelahan. Berangkat dan pulang kuliah selalu kami berbarengan. Ke kantin, bioskop, ke salonkemana-mana kami selalu bersama. Pendeknya dimana ada aku pasti ada Mutiara.

Bahkan kata orang wajah kami mirip seperti saudara kembar, dengan hidung bangir dan wajah oval. Postur kami juga sama-sama tinggi semampai. Bedanya adalah Mutiara lebih suka membiarkan rambutnya panjang tergerai melewati bahu, sedangkan aku memilih potongan rambut sebahu yang lebih praktis.

Bahkan karena sama-sama hobi pergi ke salon, kami bermimpi membangun bisnis selepas kuliah nanti.

“Tish, gimana nanti kalau kita sudah lulus kita bikin bisnis berdua?” begitu kata Mutiara saat kami berdua sedang merawat wajah di salon. Kata-katanya sedikit tidak jelas karena masker yang menutup kencang kulit wajah kami.

Spontan aku menoleh ke arah Mutiara yang berbaring di ranjang di sebelahku. “Ide bagus tuh, tapi kita bikin bisnis apa ya?”

“Kita bikin salon saja kayak gini…” Mutiara mengangkat tangannya, menunjuk ke sekitar ruangan. “Kan sesuai dengan passion kita merawat kecantikan…” dia tertawa kecil. Mungkin supaya maskernya tidak retak.

“Wah iya bener banget. Jadi kita bisa perawatan gratis setiap hari. Bisa facial, creambath dan luluran gratis,” komentarku sambil menahan tawa juga.”

Terkadang saat harus begadang mengerjakan tugas, kami membahas ide bisnis itu sebagai penyemangat.

“Aku akan mengawasi pemasaran klinik kita,” cetus Mutiara. Malam itu kami sedang berbaring di atas karpet tebal di kamarnya. Beristirahat setelah menyelesaikan tugas kuliah. Beralaskan bantal-bantal besar kami bicara sambil menatap langit-langit kamar Mutiara.

“Urusan operasional klinik biar menjadi urusanku,” aku menanggapi dengan antusias.

“Kita akan buka cabang di berbagai kota.”

“Jadi selain bisa perawatan wajah gratis, kita juga bisa jalan-jalan sambil bekerja. Keluar kota dengan alasan memeriksa cabang klinik kita,” aku tertawa membayangkan kegiatan yang menyenangkan itu.

Sayangnya kami tidak sempat mewujudkan cita-cita itu bersama. Bahkan persahabatan kami terputus begitu saja setelah wisuda. Aku ingat sekali beberapa hari sebelum hari kelulusan kami, Mutiara menangis tersedu-sedu di kamarku. Rambutnya acak-acakan dan matanya bengkak. Pasti semalaman dia sudah menangis di kamarnya sendiri.

“Aku dijodohkan oleh orangtuaku, Tisha…” Mutiara meratap sambil berurai airmata. Dia berbaring di atas karpet sambil memeluk boneka kucing milikku. “Aku harus menikah dan melupakan cita-citaku merintis karir.”

“Kok bisa tiba-tiba kamu dojodohkan seperti ini?” tanyaku prihatin sambil mengusap-usap rambutnya. Berharap bisa sedikit mengurangi galau di hati Mutiara.

“Entahlah, aku juga enggak ngerti kemauan ayahku.” Mutiara mengusah hidungnya dengan tisu. “Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba dia mengharuskan aku segera menikah dengan anak sahabatnya. Cowok yang sama sekali tidak aku kenal. Bayangkan Tisha…”

“Lalu Adrian bagaimana?” perlahan aku bertanya sambil menyebut nama pacar Mutiara. Sudah setahun ini dia menjalin hubungan dengan Adrian. Salah satu cowok paling populer di kampus kami yang punya banyak penggemar karena wajahnya yang tampan dan tubuh atletis. Mutiara bangga sekali saat Adrian memilihnya sebagai pasangan.

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now