Pergi Berdua?

171 1 0
                                    

Seorang waiter menyajikan dua porsi steak  yang menguarkan aroma sangat lezat. Baru terasa sekarang perutku sudah keroncongan. Memang kalau sedang bekerja, rasa haus dan lapar sungguh tak terasa. Tidak heran bila penyakit maag mengintai para pekerja keras yang kerap lupa waktu.

Segera saja aku menikmati daging yang empuk dan juicy itu. Di depanku, Janu pun melakukan hal yang sama. Mulutnya langsung sibuk mengunyah. Sesaat tidak ada yang bicara karena perhatian kami tersedot oleh kelezatan hidangan yang tersaji.

“Bagaimana kerjaan?” akhirnya pertanyaan itu terlontar dari Janu setelah dia melahap seperempat bagian steak-nya. Perut yang mulai terisi membuat kecepatan makan kami berkurang hingga mulai sempat berbincang.

“Seperti biasa lah…” jawabku sedikit muram. Pertanyaan Janu mengingatkan pada masalah yang sedang kuhadapi.

“Hmmm… sepertinya ada yang kurang beres ya?”

“Begitulah, kondisi cabang yang di Bandung sedang tidak terlalu baik. Omzetnya banyak turun sementara biaya operasional naik. Aneh kan?”

“Parah? Banyak selisihnya?” Janu menampakkan wajah prihatin.

“Belum terlalu sih, tapi aku enggak mau membiarkan kondisi ini berlangsung terlalu lama. Seperti ember yang bocor, harus segera ditambal sebelum seluruh air di dalamnya habis.”

“Hmmm… jadi kamu akan ke Bandung?”

Aku seperti menangkap nada harapan di suara Janu. Apakah dia berharap aku pergi keluar kota? Aneh, biasanya dia lebih sering keberatan kalau ditinggal-tinggal.

“Belum perlu aku yang turun tangan langsung sih. Jadi Tia yang akan pergi mewakiliku ke sana.”

“Kamu yakin, Tia mampu? Dia kan masih baru.”

Aku mengangguk yakin. Mengerti dengan keraguan Janu. Memang Tia belum lama terjun di bisnis kecantikan ini, tapi sebagai atasannya langsung, aku bisa menilai kemampuan Mutiara. “Mudah-mudahan dia cukup mumpuni untuk menemukan dan membereskan masalah yang terjadi. Kita harus memberikan dia kesempatan kan? Aku sedang belajar mendelegasikan masalah, karena enggak mungkin bila aku semua yang membereskan semua pekerjaan. Apalagi aku juga ingin mulai lebih memperhatikan kehidupan pribadi.”

“Maksud kamu ingin lebih memperhatikan aku?” Janu mendekatkan kepalanya dan berbisik mesra di telingaku.

Aku tertawa kecil. Geli karena tergelitik oleh deru napasnya. “Iya dong. Rasanya sudah waktunya aku eh kita lebih berusaha untuk memiliki keturunan kan?”

Ekspresi wajah Janu menjadi lebih serius. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Menurutmu kita perlu konsultasi dengan dokter?”

Sejak menikah dulu, Janu menginginkan kami langsung memiliki anak. Dibesarkan sebagai anak tunggal membuat Janu sangat merindukan rumah yang ramai dengan tawa bocah. Katanya dulu, waktu masih kecil, Janu kerap menghabiskan waktu di rumah paman dan bibinya yang punya banyak anak. Dia suka bermain dengan sepupu-sepupunya.

Tapi rupanya rezeki itu belum waktunya datang. Sampai sekarang pernikahan kami masih belum diramaikan gelak dan canda anak-anak. Beberapa kali aku menyarankan supaya kami memeriksakan diri ke dokter. Sekadar konsultasi awal dan meminta nasihat untuk memilih program kehamilan yang sesuai dengan kondisi kesehatan kami. Tapi Janu selalu menolak. Berbagai alasan dia lontarkan untuk menghindari jadwal konsultasi.

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now