Kabur

141 1 0
                                    

POV Mutiara

Aku tidak pernah menduga kalau nasibku akan seburuk ini. Cita-cita yang kususun bersama Letisha semasa kuliah sudah hancur berantakan gara-gara pernikahan yang dipaksakan orangtuaku. Terlebih lagi pernikahan dengan cara perjodohan itu ternyata sama sekali tidak memberikan kebahagiaan yang kuharapkan.

Mantan suamiku bukanlah pria yang bertanggungjawab. Kami sama-sama merasa terpaksa menjalani pernikahan ini. Bedanya aku menerima dengan pasrah, Davi menunjukkan pemberontakan. Sayangnya protes Davi itu dilakukan setelah kami berdua resmi menjadi suami-isteri.

“Aku menjalani pernikahan ini hanya karena paksaan kedua orangtuaku. Jadi jangan harap aku akan menjadi suami yang baik!” Kalimat itu sudah Davi ucapkan pada malam pertama kami menikah. Wajahnya tampak menahan kesal. Senyum yang sedari tadi ditunjukkannya pada para undangan resepsi kami mendadak menghilang. Binar di matanya turut lenyap, berganti dengan sorot tajam seakan penuh dendam.

Davi melangkah keluar dari kamar hotel yang disewakan oleh orangtuanya untuk kami, dan memilih berbaring di sofa. Kebetulan ruangan suite yang kami tempati terdiri dari beberapa ruangan.

Aku mengikuti dari belakang sambil berusaha menjejalkan sedikit logika di benak Davi. “Tapi, Dav, pernikahan kita memang berawal dari perjodohan, tapi mengapa kita tidak mencoba menjalaninya dengan baik? Kita bisa berusaha saling mengenal dulu.”

“Enggak mungkin!” bentak Davi penuh amarah. “Gara-gara kita menikah, aku terpaksa putus dari pacarku.”

“Kalau begitu kenapa tidak sedari awal kamu menolak?” emosiku terpancing. “Kenapa marah-marah padaku? Seharusnya kamu protes pada ide gila ayahmu karena dia yang mengusulkan perjodohan ini.”

“Jangan kurang ajar kamu!” Davi melompat bangun dan berdiri menjulang tegak di depanku. “Berani-beraninya mencela ayahku!”

Sejak saat itu aku menyadari bahwa bicara dengan Davi tidak pernah mudah. Dia tidak pernah mau menerima saran apalagi kritik dari orang lain. Bagi Davi pendapatnyalah yang selalu benar. Mencoba berdiskusi dengan dia sama dengan berdebat dengan orang bodoh. Bicara ngotot dan berputar-putar tanpa jelas arahnya.

Aku mencoba tetap bersabar. Nyatanya Davi tidak pernah berubah. Setelah tiga bulan menjadi suamiku, kelakuan Davi malah semakin menjadi-jadi. Dia mulai berani menunjukkan pribadi yang sebenarnya: ringan tangan, suka berjudi dan malas bekerja. Tamparan dan tinjunya makin sering bersarang di tubuhku. Meninggalkan memar dan lecet yang perih.

Davi dengan licik selalu mengincar bagian tubuhku yang tertutup baju. Hingga orang lain tidak pernah melihat tanda-tanda kekejamannya itu. Bahkan orangtua kami menyangka kehidupan pernikahan kami baik-baik saja.

“Davi berhenti menyiksaku! Ceraikan saja aku kalau kamu tidak suka!” Malam itu aku benar-benar tidak tahan menerima kekerasan darinya. Sambil meringkuk di sudut dinding akhirnya aku mengucapkan kata cerai. Kata yang selama ini tidak pernah keluar dari bibirku, seburuk apapun perlakuan Davi. Sampai malam itu di hatiku masih ada setitik asa yang berharap dia akan berubah.

Tapi mendengar permintaan cerai dariku, Davi justru tertawa terbahak-bahak. Berdiri tegak dengan tangan di pinggang, dia lebih mirip seorang pelaku kriminal yang berniat melukai korbannya. “Kamu pikir bercerai denganku akan semudah itu, Tia? Aku yang pertama menggugatmu kalau bisa.”

“Kenapa tidak bisa?” tanyaku menahan isak. Perih yang terasa di tubuhku nyaris tidak tertahankan.

“Bodoh! Karena ayahku akan mencoretku dari daftar pewaris hartanya, kalau aku berani bercerai!”

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now