Curhat Sahabat

136 1 0
                                    

“Tante lihat deh, Ella punya boneka baru…” bocah cilik itu langsung menyambutku begitu aku masuk sambil menggandeng Ello. “Cantik ya…” dia menyodorkan boneka itu padaku.

“Wah, benar cantik sekali. Boneka baru ya, La?” Jariku membelai rambut hitam boneka itu. Bertiga, kami duduk di karpet ruang tamu. Ella menggangguk berulang kali hingga rambutnya yang dikuncir dua berayun-ayun.

“Iya, Tante. Hadiah dari Om Janu.” Senyum Ella lebar.

Deg. Ada rasa tidak enak melintas di hatiku. “Kapan Om Janu kasih hadian ini, La…?” Heran juga aku karena tidak tahu Janu sudah memberikan hadiah untuk Ella. Biasanya dia tidak pernah peduli dengan urusan-urusan pribadi seperti ini. Membeli hadiah ulang tahun, pernikahan teman, atau acara apapun selalu diserahkan padaku.

“Kapan ya…” gadis cilik yang cerdas itu tampak lucu saat mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat. Aku enggak tahan untuk mencolek pipinya yang gembil. “Ella lupa tante…” jawabnya sambil tertawa.

Aku ikut tersenyum dan mengusap pipinya. “Ella sayang sama boneka ini?” aku mengalihkan topik pembicaraan. Tidak layak rasanya melibatkan anak kecil dengan kecurigaanku.

“Sayang banget… Tante. Setiap hari Susi tidur bareng Ella.”

“Susi?”

“Iya, nama boneka ini Susi. Ella sayaaaang… banget sama Susi.” Seakan ingin membuktikan kata-katanya, Ella mendekap boneka itu dengan erat.

Sementara kami bicara, Ello lebih banyak diam. Dia menyandarkan tubuhnya di dadaku sembari memperhatikan obrolan kami. Menghabiskan waktu bersama mereka selalu menyenangkan. Rasa lelah akibat seharian bekerja, menguap seketika saat mendengar tawa dan celoteh mereka. Makin sering bersama Ella dan Ello telah berhasil membuat keinginanku untuk memiliki anak makin kuat.

Karena malam sudah makin larut, aku menemani anak-anak Mutiara membersihkan diri, berganti pakaian dan naik ke tempat tidur.

“Met bobo, Ella dan Ello…” ucapku saat mereka sudah berbaring di ranjang.

“Bye Tante Tisha…” balas mereka dengan suara yang sudah mengantuk.

Aku menutup pintu pelan. Membiarkan pengasuh Ella dan Ello menemani mereka. Bulan sudah naik tinggi saat aku berjalan pulang, melintasi taman ke rumah utama. Sinar rembulan tampak cantik memantul di kolam ikan yang kulewati. Suasana romantis membawa pikiranku pada Janu. Sedang apa ya dia?

Tapi Janu harus menunggu. Aku memilih untuk menghubungi Mutiara lebih dulu. Ingin menanyakan penyebab dia merubah rencana perjalanan. Mumpung belum terlalu malam. Kalau aku menghubungi Janu lebih dulu dan keasikan mengobrol bisa-bisa kemalaman untuk menelepon Mutiara.

Ini agak aneh. Keningku sedikit berkerut karena teleponku tidak juga terjawab. Jangan-jangan Mutiara sedang makan malam atau malah sudah beristirahat. Padahal setahuku dia jarang sekali tidur di bawah jam duabelas malam. Sudahlah. Tidak mengapa, toh aku bisa menelepon besok. Biar aku ngobrol dengan Janu saja dulu.

Sambil bersandar santai di sofa ruang tamu aku menyalakan speaker ponsel, supaya bisa ngobrol lebih santai. Sayang keinginanku berbincang dengan Janu sambil menunggu kantuk juga tidak bisa terwujud. Karena penasaran, sampai lima kali aku mencoba menelepon tapi juga tidak mendapat jawaban. Kesal dan cemas campur aduk dalam hatiku. Kesal karena Janu tidak menepati janji untuk mengabari kalau sudah sampai. Dan cemas karena takut terjadi sesuatu yang tidak dinginkan pada Janu. Amit-amit.

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now