Menjenguk

147 0 0
                                    

Segera aku melangkah ke kamar tidurku yang terletak di lantai dua. Klik. Aku memutar pegangan pintu. Ah, terkunci? Aneh. Tidak biasanya Janu mengunci kamar. Ruangan tidur kami biasa dikunci hanya saat kami berdua tidak ada di rumah, atau justru ketika aku dan Janu berada di dalam kamar.

Hon… sayang… kamu di dalam?” tanyaku perlahan. Tidak ingin mengganggu kalau Janu sedang tidur. Barangkali dia sedang tidak sehat hingga mengunci pintu kamar. 

Aku menunggu beberapa saat sambil menempelkan telinga di daun pintu. Rasanya seperti ada orang berbisik dan bergerak di dalam. “Sayang…” aku mengetuk sekali lagi. Mungkin Janu sedang menerima telepon. Kutajamkan pendengaranku. Hening. Ah, bisa saja aku yang salah dengar.

Kuputuskan untuk kembali ke lantai bawah saja. Sambil  menunggu Janu keluar dari kamar aku bisa menyiapkan masakan ringan. Jadi dia bisa makan setelah bangun tidur nanti.

Namun baru tiga langkah aku bergerak, bunyi pintu terbuka membuatku menoleh.

“Tisha? Tumben sudah pulang…” Janu berdiri di depan kamar hanya mengenakan celana pendek. Rambutnya acak-acakan tapi wajahnya tampak segar. Tidak seperti orang yang baru bangun dari tidur.

“Eh, iya… Enggak begitu banyak kerjaan di kantor. Selain itu juga anaknya Tia sakit. Jadi kupikir lebih baik aku pulang cepat untuk menengok dia,” terangku sambil melangkah kembali ke pintu kamar.

Sekilas kulihat sprei kamarku berantakan. Hanya sekejap saja karena Janu langsung menarik pintu hingga tertutup. 

“Mmm… aku lapar nih. Kamu bawa makanan? Atau bisa masakin sesuatu untukku?” tanyanya sambil mengelus perutnya yang rata dengan hiasan tonjolan-tonjolan otot. Hasil kerja kerasnya di gym nyaris setiap hari.

“Kasihan… suamiku tersayang kelaparan ya?” Aku membelai pipinya sambil tertawa. “Aku bawa cake, bapao, juga ayam frozen yang bisa langsung digoreng… Atau kamu mau makanan yang lain?”

“Ayam goreng saja… kayaknya enak deh. Kamu ke dapur duluan aja ya. Aku pakai kaos dulu…” katanya dengan tangan masih menggenggam pegangan pintu. Seakan benda itu sangat berharga hingga dia tidak rela melepaskannya.

“Oke… aku tunggu di bawah ya…” ucapku riang. Sama sekali tidak curiga dengan apa yang sudah terjadi. Sesuatu yang kelak kusesali. Seharusnya semua keanehan itu menjadi petunjuk telah terjadi sesuatu di rumahku sendiri.

Tak perlu waktu lama, aroma ayam goreng yang lezat tercium di dapur kami. Aku tidak terlalu repot memasak karena tidak lagi menggunakan kompor dan wajan penuh minyak. Di dapur kami yang canggih ini tersedia beragam peralatan memasak modern. Dengan menggunakan air fryer, ayam goreng bisa masak dan dapur tetap bersih.

Sambil menunggu ayam matang, aku menata kue-kue yang kubeli di piring. Penganan yang akan kukirim ke paviliun Mutiara tetap kubiarkan dalam kardus kemasan aslinya, supaya lebih mudah dibawa-bawa.

Janu duduk di kursi makan dan langsung mengisi piringnya dengan nasi. 

"Biar kuambilkan, sayang," kataku dengan sigap. Ingin melayani suami dengan baik, mumpung aku sedang senggang. Biasanya kami lebih sering makan sendiri-sendiri (karena kesibukan yang tidak bisa ditunda) atau bersantap bersama di restoran. Yang tentu saja dilayani para waiter profesional. 

Kadang-kadang ingin juga aku melayani suami di meja makan. Seperti kali ini, tapi biasanya Janu selalu menolak. "Kamu kan sudah capek bekerja. Jangan merepotkan diri melayani. Bisa makan bareng kamu saja, aku sudah senang kok," begitu selalu kata Janu 

“Enak banget nih ayamnya…” komentar Janu sembari mengambil potongan ayam goreng kedua.

Aku senang melihat dia makan penuh selera seakan habis bekerja berat. Untuk wanita yang jarang turun ke dapur, kemampuan masakku memang pas-pasan. Aku lebih sering makan di restoran, memesan catering atau membeli frozen food. 

“Ini kan memang ayam kesukaan kamu. Sengaja aku beli supaya gampang kalau kamu lagi pingin.”

“Kamu enggak nambah?” tanya Janu melihatku sudah selesai makan. 

Aku menggeleng. “Sedang mencoba mengurangi makan. Berat badanku sudah naik tiga kilo. Kalau dibiarkan bisa-bisa bajuku nanti nggak muat lagi.”

“Ahhh…kamu enggak perlu diet segala. Gemuk atau kurus, kamu tetap cantik kok…” puji Janu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku tersipu. “Bohong ah, paling-paling kalau aku gemuk, kamu cari pacar baru yang lebih langsing…”

Mendadak Janu meraih jemariku. Menggenggamnya hangat. “Jangan bilang begitu. Kamu tahu kan, aku cuma sayang sama kamu,” ucapnya mesra lalu kecupannya mampir di pipiku. 

***

“Mau kemana sih?" Janu menarik tubuhku hingga kembali berbaring di sisinya. "Jarang-jarang kita bisa santai berdua sore-sore begini," protesnya sambil menggelitik pinggangku. 

Aku menggeliat dan tertawa. Berusaha melepaskan diri dari dekapannya. "Justru sudah sore nih, aku mau menengok Ella. Kasihan kan lagi sakit. Aku sudah beli camilan kesukaannya, siapa tahu dia yang lagi enggak enak makan jadi nafsu makan."

"Dari mana kamu tahu Ella lagi nggak mau makan?" Pandangan Janu mengikutiku yang sedang menyisir rambut di meja rias. 

"Biasanya sih begitu. Teman-temanku sering cerita kalau anaknya enggak mau makan saat sedang sakit."

"Aku ikut!" ucap Janu tiba-tiba. Dia meloncat dan mengambil kausnya dari lantai. 

"Tumben. Biasanya kamu paling malas ikut aku menjenguk teman yang sakit."

"Ah, ini kan dekat. Cuma di samping rumah. Lagian enggak enak sama Tia, aku ada di rumah kok enggak ikut menjenguk."

Aku tertawa mendengar alasan Janu. Sejak kapan dia merasa enggak enak sama Tia karena sesuatu? Sebagai teman baik, aku tahu Tia tidak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini. 

Bergandengan tangan kami berjalan menuju paviliun Tia. Masing-masing membawa satu box camilan untuk Ella dan Ello. 

Begitu bel berdering, pintu langsung terbuka. Bukan Tia yang kami temui tapi Ella. Sekilas dia terlihat sehat-sehat saja. Matanya bersinar cerah. Tidak sayu seperti anak yang sedang sakit. Ada rona merah jambu di pipinya yang putih. 

"Eh, Tante Tisha datang!" Serunya ceria dengan senyum lebar. Dia lalu berpaling dan berteriak lebih keras, "Mama…! Ada Tante Tisha." 

Segera aku berjongkok di depannya supaya tinggi kami sejajar. Salah satu cara yang disarankan untuk berkomunikasi dengan anak. 

"Halo Ella. Kamu sudah sembuh?" kuraba kening dan dahi bocah itu dengan punggung tangan. Biasa saja. Tidak sedang demam. 

Ah, tidak semua penyakit ditandai dengan gejala demam. Lagipula perlu termometer untuk mengukur panas tubuh dengan lebih akurat. 


Haii… silakan baca juga cerita yang lain di KBM App ya…

Cinta Rahasia Suamiku

Suami Perebut Warisan

Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara

Happy Reading…

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now