Rencana

127 1 0
                                    

“Masa sih, Janu bisa tertarik pada Tia? Memangnya menurut kamu dia lebih cantik dari aku, Na?”

Selama ini aku tidak pernah membandingkan diriku dengan Mutiara. Persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun sudah membuatku percaya tanpa batas pada Mutiara. Tapi pertanyaan Ratna berhasil membangkitkan kecemasan dalam diriku. Membuatku mampu melihat kondisi pertemanan dengan Mutiara dari sudut pandang yang berbeda. Apa mungkin Janu sungguh tertarik pada sahabat lamaku itu? Kalau benar, mereka berdua sungguh keterlaluan.

“Aku enggak bisa menilai dong, Beb. Aku kan belum pernah ketemu dia. Foto zaman sekarang kan enggak bisa dijadikan patokan penilaian. Tahu sendiri deh aplikasi di ponsel bisa bikin orang kelihatan sepuluh kali lebih cantik. Cuma…”

“Cuma apa, Na?” tanyaku enggak sabar karena Ratna memotong kata-katanya. Dia seperti sengaja mengulur waktu dengan mengambil camilan dan menyesap minuman.

Ratna terlihat bicara lebih hati-hati. “Cuma kamu jangan berpatokan hanya dari wajah cantik dan tubuh proporsional saja. Pesona seorang wanita kan enggak terbatas pada fisik saja. Bukannya banyak kejadian dimana para suami sangat bisa terpikat pada wanita yang, sorry to say, kualitasnya jauh di bawah isteri-isteri mereka?”

Diam-diam tanganku meremas-remas bantal kecil di pangkuanku. “Iya sih.” Diskusi ini membuatku bertambah penat, rasanya hatiku pengap dan beban tak kasat mata di pundakku bertambah berkali-kali lipat. “Memang beberapa kali aku merasa tidak enak saat melihat mereka sedang berdua.”

“Kenapa, Sha? Memangnya apa yang mereka lakukan?”

Aku menghela napas dan mengorek ingatanku. Mengingat lagi semua kelakuan Janu dan Mutiara yang membuatku tidak nyaman.

“Macam-macam sih, Na. Pernah aku memergoki Janu dan Tia sedang bertukar pandang dengan mesra. Sorot mata mereka berbeda dari biasanya. Aku kan bisa membedakan pandangan netral atau penuh cinta. Tapi keanehan itu hanya sebentar saja. Saat mereka menyadari kehadiranku, kemesraan itu langsung menghilang.”

“Beberapa kali juga aku melihat mereka ngobrol dengan begitu akrab dan dekat. Aku yakin bila orang lain melihat sikap tubuh mereka, pasti mengira Janu dan Tia sepasang kekasih yang lama tidak bertemu.”

“Astaga. Kok mereka nekad sekali ya. Terus, bagaimana reaksimu?” Ratna menatapku serius. Mulutnya sampai berhenti mengunyah.

“Yaaa… tadinya aku berusaha mengabaikan semuanya. Kupikir aku sedang terlalu sensitif saja atau hanya terlalu lebay. Tapi kali ini tiba-tiba mereka berdua keluar kota, walaupun dengan tujuan berbeda.” Aku bicara sambil memijat keningku pelan. “Nah kepergian mereka hari ini yang bikin kecurigaanku jadi tambah kuat.”

“Iya sih. Benar juga. Kok kebetulan banget, mereka pergi di waktu yang sama, Tish.” Ratna menyipitkan matanya. Aku yakin dia sedang berpikir keras untuk menemukan hubungan antara kecurigaanku dengan kelakuan Janu dan Mutiara.

“Hmmm… aku juga heran banget, Na. Kok bisa berbarengan gitu. Janu katanya mendadak harus ketemu buyer di Semarang. Sedangkan Tia rencananya pergi besok pagi ke Bandung, tapi waktu aku pulang kerja, asisten rumah tangganya bilang dia sudah berangkat. Tadinya aku cuma sedikit curiga, sekarang aku jadi curiga banget!”

“Wajar, Tisha Kalau aku jadi kamu, aku juga bakalan curiga.” Ratna mengangguk-angguk, mendukung penuh semangat. Kalau semula kukira aku yang terlalu paranoid, sekarang setelah bicara dengan Ratna aku jadi yakin kecurigaanku adalah sesuatu yang amat sangat wajar.

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now