Curiga

182 0 0
                                    

“Ada apa, Tia. Katakan saja. Kalau aku bisa, pasti kubantu…”

Terdengaar helaan napas panjang Mutiara. Begitu berat, seakan dia sedang menanggung beban kehidupan yang sangat besar. “Sesungguhnya aku malu meminta ini padamu…”

Kok jantungku jadi berdetak cepat ya. Perasaan jadi tidak enak.

“…Aku ingin minta pekerjaan sama kamu…” Suara Mutiara bergetar menahan tangis. Air matanya menitik membasahi pipi. Buru-buru Mutiara menghapus butiran itu dengan ujung jarinya. “… aku baru saja bercerai, dan mantan suamiku tidak mau bertanggungjawab. Aku harus menghidupi anak-anak. Padahal tidak mudah mendapat pekerjaan untukku. Kamu tahu sendiri aku tidak lulus kuliah-”

“Sssshh… tidak apa. Itu urusan gampang,” ujarku memotong ratapan Mutiara. Bukannya tidak ingin mendengar curhatan teman sendiri tapi hati ini tidak tega membayangkan sulitnya hidup Mutiara sejak berpisah dengan suaminya.

“Sungguh, Sha? Kamu bisa mengusahakan pekerjaan untukku…” Mata Mutiara berkerjap indah. Ada harapan di sorot matanya. Sesuatu yang tidak kulihat sejak kedatangannya tadi.

Aku melambaikan tangan dengan ringan. “Pekerjaan itu urusan gampang. Cuma…”

“Kenapa, Sha?” Sepertinya Mutiara tidak sadar kalau dia mencengkeram tanganku terlalu keras.

Aku meringis dan melanjutkan kata-kataku, “Mungkin aku belum bisa memberikan gaji terlalu besar. Klinik milikku baru saja berkembang. Tapi kalau kamu mau berjuang bersamaku membesarkan bisnis ini tentu-”

“Aku mau, Sha… Aku mau…” ucap Mutiara berulang kali dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Bahkan tangannya bertepuk ringan. “Aku enggak akan meminta gaji besar. Cukuplah untuk menyewa rumah dan membeli makanan untuk anak-anakku…” Wajahnya kembali sedikit murung.

“Oke, kalau begitu semua sudah deal. Oh ya kamu sekarang tinggal dimana?”

“Belum tahu sih, Sha… Mungkin aku akan mencari kamar kos atau kontrakan murah di sekitar sini.”

Keningku berkerut. Aku ragu Mutiara punya uang cukup untuk membayar kamar kos, apalagi rumah kontrakan. Klinik ini berada di pinggir jalan besar. Tempat kos di sekitar sini biasanya mahal sekali. Bisa saja sih aku memberikan uang pada Mutiara untuk menyewa kamar kos untuknya, tapi aku punya ide yang lebih baik.

“Kalau kamu belum punya tempat tinggal, enggak usah kos, Tia. Tinggal di rumahku saja. Kebetulan rumahku punya paviliun yang terpisah tidak berapa jauh dari rumah utama. Tadinya rumah itu akan ditempati sepupuku, tapi sekarang dia harus pindah keluar kota karena ikut suaminya. Jadi paviliun itu kosong.”

“Tisha…”

Aku kaget karena Mutiara menubrukku dan memelukku erat. Dia menangis terisak di pelukanku. “Loh… loh kok malah nangis?” Aku tertawa kecil untuk mengatasi keharuan yang juga mencekat hatiku.

“Makasih banget loh, Sha… Aduh kamu kok baik banget sih sama aku.”

“Ya ampun, pastilah, Tia. Persahabatan kita kan enggak akan lekang oleh waktu. Dulu waktu kita masih kuliah, kamu juga sudah banyak banget membantuku. Sekarang giliranku…”

Kami saling berpelukan lagi. Mensyukuri hubungan pertemanan lama yang kini terjalin lagi.

***

Semuanya berjalan lancar. Mutiara dan anak-anaknya mapan tinggal di paviliun rumah kami. Sering kali dia datang ke rumah utama untuk makan bersama atau juga membantuku menyelesaikan pekerjaan kantor. Mutiara yang supel segera akrab dengan Janu. Anak-anak Mutiara yang begitu manis juga memeriahkan rumah kami yang semula sepi.

Beberapa kali Janu juga mengajak kami semua berpiknik. Memang jadi lebih seru. Mutiara dan anak-anaknya membuat suasana jadi lebih semarak.

Soal pekerjaan juga tidak perlu ditanyakan lagi. Mutiara yang cerdas mampu membantu bisnisku jadi lebih maju. Dalam waktu singkat dia menjadi salah satu orang kepercayaanku dalam menjalankan klinik.

Hingga suatu saat mulai muncul hal-hal aneh dalam rumahku. Suatu kali Mutiara minta izin untuk pulang lebih cepat karena Ella kurang sehat. Tentu saja aku mengizinkan. Mutiara sudah sering bekerja lembur di kantor ataupun di rumahku. Apalagi ini soal Ella. Aku juga ikut cemas kalau Ella atau Ello sedang kurang sehat.

Karena tidak enak makan siang sendirian, aku mencoba menghubungi Janu. Mengajaknya makan bareng sambil mengobrol. Sudah lama juga kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Akhir-akhir ini aku dan Janu jarang mengobrol. Aku sering pulang malam dalam keadaan lelah hingga tidak lagi tersisa tenaga untuk bertukar cerita.

Sayangnya nomor ponsel Janu tidak aktif. Beberapa kali aku mencoba menghubungi tapi selalu gagal tersambung. Ini aneh. Biasanya Janu selalu mengangkat telepon dariku, bahkan saat dia sedang dalam rapat yang penting. Walau hanya dengan ucapan. “Aku lagi meeting, Sha. Nanti kutelepon lagi ya…” begitu biasanya dia menjawab.

Karena penasaran kutelepon nomor kantornya.

“Bapak, sudah keluar kantor, Bu…” Ratri, sekretarisnya yang menjawab.

“Kemana ya…?”

“Mmmm… Bapak enggak kasih info kemana. Cuma Bapak bilang kemungkinan enggak kembali ke kantor.”

“Oh…” aku melongo bingung. Kemanakah Janu pergi makan siang, hingga sampai tidak kembali lagi ke kantor? Ih kemana sih dia? Tidak biasanya Janu jadi misterius begini. Biasanya dia selalu menginformasikan kemanapun dia pergi. Bisa lewat telepon, pesan wa atau menitipkan pesan ke sekretarisnya.

Tauk ah! Aku jadi pusing bermain detektif seperti ini. Ya sudah kalau tidak ada yang menemaniku makan siang, lebih baik aku pulang saja makan di rumah. Terus istirahat, tidak usah kembali ke kantor seperti Janu. Pekerjaanku tidak terlalu sibuk hari ini. Jadi tidak ada salahnya bersantai sekali-kali.

Aku berencana membawa camilan ke paviliun Mutiara. Ngemil dan ngobrol sambil menemaninya mengurus Ella. Aku segera menyambar tas tanganku dan keluar.

Satu kejutan yang menggembirakan hatiku adalah melihat mobil Janu sudah terparkir rapi di carport rumahku. Ah, kenapa dia tidak bilang kalau sudah pulang ke rumah. Kan aku bisa memanfaatkan waktu dengan ngobrol bersamanya. Untung saja aku memutuskan untuk pulang cepat juga. Kalau tidak bisa-bisa kita tidak bertemu hari ini.

Sambil bernyanyi kecil aku mengayunkan langkah menuju pintu masuk. Satu tanganku menenteng sekotak bapau aneka rasa untuk oleh-oleh buat Ella dan Ello.

“Honey… aku pulang…!” Seruku dari pintu masuk sambil membuka sepatu. “Kamu sudah makan belum… ada bapau nih…”

Hening.

Aku menajamkan telinga. Tidak terdengar suara sedikitpun. Aku seperti berada di rumah kosong. Aneh. Apa Janu sakit dan sedang tertidur. Aku merasa bersalah karena sudah berteriak-teriak. Sambil

Haii… silakan baca juga cerita yang lain ya di KBM App…

Cinta Rahasia Suamiku

Suami Perebut Warisan

Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara

Happy Reading…

Sahabat yang Merebut SuamikuWhere stories live. Discover now