Alia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sebenarnya Mamak mau update di KK malam ini, tapi mendadak ada perubahan yang menurut Mamak lebih oke, jadi mamak harap tim KK sabar ya. Kita nongkrong di mari dulu.
"Mama, aku diejek temen-temen, Ma. Kata mereka Ayah Dika itu mau buang Dika sama Mama. Kata temen-temen Ayah Dika tukang selingkuh. Kakak kelas Dika sering lihat Ayah main sama Kak Nada dan Mamanya."
Aku termangu, rasanya duniaku serasa runtuh dalam sekejap mendengar pernyataan dari Dika barusan, niatku adalah menyembunyikan segala masalah ini dari Dika dan mengatakannya pada putraku secara perlahan, tapi nyatanya kebersamaan suamiku dengan masalalunya sudah diketahui banyak orang.
Kepalaku berdenyut nyeri, rasanya pusing sekali memikirkannya, tapi aku berusaha kuat untuk Putraku, satu persatu aku harus mengurai benang kusut yang membelitku dan Dika. Jadi rupanya masalalu Bang Dwika tersebut kembali datang secara tidak sengaja, siapa sih yang menyangka jika sekolah Andika dan anaknya Nana bisa sama? Rupanya sudah hampir 8 bulan ini mereka kembali dekat, waktu yang menurutku sangat lama. Pantas saja saat playgroup dan TK Bang Dwika nyaris tidak mau mengantarkan Andika karena menurutnya mengantarkan anak sekolah tidak sempat mengejar waktu apelnya, namun siapa yang menyangka rajinnya suamiku ada maksud tersembunyi.
Gila, Bang Dwika sudah gila. Aku tidak akan mempermasalahkan jika hanya aku yang disakiti, aku bisa menahannya, tapi jika Andika sudah turut terluka seperti ini aku tidak bisa diam saja. Baru setelah aku bisa menenangkan diri, aku beralih pada Miss Beta, perempuan muda yang tampak khawatir karena wajahku yang sudah mengerikan ini menatapku takut-takut.
"Sebelumnya terimakasih Miss sudah menemani Andika berobat, saya menganggap ini adalah bentuk tanggung jawab Anda sebagai seorang Wali kelas Andika, tapi Miss sendiri dengarkan apa yang Andika katakan, dia seperti ini karena di jahati, dan dia juga di bully. Jadi tolong sampaikan pada kepsek Anda jika saya besok mau melapor."
Aku bisa melihat Miss Beta menelan ludah kelu, "Baik Ma, saya akan menyampaikannya. Sekali lagi, maafkan saya yang lalai ya, Ma."
"Saya maafkan!" Ucapku tegas, "saya paham, sebagus apapun gurunya jika memang anaknya kurang ajar, guru yang baik pun tidak berguna, tindakan perundungan hingga membuat celaka seperti ini bukan hal yang bisa di maafkan, hari ini mereka mendorong anak dari tangga, bukan tidak mungkin mereka akan mendorongnya dari atap gedung."
Mendengar apa yang aku katakan wajah Miss Beta semakin tidak karuan, aku sangat paham jika ada hal yang beliau inginkan sekarang itu adalah menghilang dari hadapanku secepatnya.
"Miss, bisa minta tolong tunggu saya di luar sebentar? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Miss, tapi sebelumnya saya harus berbicara dengan Andika berdua. Bisa?" Kali ini nada suaraku melembut, pada dasarnya aku bukan tipe orang yang arogan dan keras, tapi saat-saat seperti ini ketegasanku di perlukan, kini tidak ada yang bisa aku andalkan selain diriku sendiri.
Usai Miss Beta mengangguk dan meninggalkan berangkar di ruang UGD tempat Andika harus menghabiskan infusnya sebelum pulang, aku naik ke sisi ranjang putraku, tanganku terulur, mengusap rambut hitam pelatnya yang tersembunyi di balik perban. Hatiku hancur melihat bagaimana kondisi putraku ini. Aku ingin memulai pembicaraan tapi aku pun bingung mulai darimana.
"Ma, Papa beneran mau ninggalin kita, ya?"
Di tengah kebingunganku menyusun kata, pertanyaan polos dari putraku ini membuat jantungku serasa tercekat ngilu, tidak, Andika bukanlah anak yang bodoh, dia adalah anak berusia 7 tahun yang pintar dan bisa paham dengan kondisi yang tengah terjadi, sorot matanya yang polos saat menunggu jawaban dariku membuatku semakin terluka.
"Papa mau ninggalin kita ya, Ma? Papa beneran selingkuh, Ma? Selingkuh itu pergi dari rumah kan, Ma?"
Bertubi-tubi pertanyaan di lontarkan oleh Andika, dan semakin dia berbicara, suara jagoan kecilku tersebut semakin lemah karena menahan tangis membuatku dengan cepat memeluknya. Masih aku ingat dengan jelas bagaimana bahagianya aku saat garis dua di testpack aku dapatkan di bulan keempat pernikahanku, kehadiran Andika adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku, wajah bahagia Bang Dwika saat aku memberinya hadiah tersebut tidak akan pernah aku lupakan.
Percayalah, saat itu aku merasa kebahagiaanku sebagai wanita sangatlah lengkap, aku merasa takdir begitu berbaik hati kepadaku karena kebahagiaan mendatangiku tanpa henti, kebahagiaan yang kini ternoda karena kehadiran masalalu suamiku dan kelakuan Dajjal suamiku sendiri. Entah dimana sebenarnya otak Bang Dwika hingga dia dengan tenangnya bermain api di hadapan Andika tanpa berpikir bagaimana perasaan anaknya? Apa hatinya benar-benar sudah mati rasa kepadaku dan Andika hingga dengan tega dia melakukan hal ini kepada anak sekecil Andika.
"Nggak, Papa nggak akan ninggalin Dika. Percaya sama Mama, Mama nggak akan biarin hal itu terjadi."
Lama aku memeluk Dika, menenangkan putraku tersebut dari ketakutannya, polos dan sederhana sekali bukan keinginan anak kecil itu. Sesederhana ingin keluargaku utuh, ada Mama dan Papa yang akan terus bersama-sama, aku yakin Nada, anaknya Nana juga menginginkan hal yang sama, tapi merebut keutuhan keluarga dari keluarga lain adalah hal yang salah, dan sampai kapanpun demi putraku, demi kehormatan dan harga diriku sebagai istri aku akan mempertahankan semua yang aku miliki sekalipun kakiku akan berdarah-darah karena berjalan di atas kepingan kaca.
Usai menenangkan Dika, aku meninggalkannya sebentar sebelum nanti kami akan pulang dan menemui Miss Beta. Guru muda yang berusia belum genap 25 tahun tersebut langsung berdiri saat melihatku. Namun aku dengan cepat mengibaskan tanganku memintanya agar tidak terlalu formal.
"Nada yang disebut oleh Andika tadi itu benar kalo kelas Andika, Miss?"
"Benar, Ma." Untuk ukuran sekolah dasar, sekolah tempat Andika bersekolah ini termasuk sekolah elite, agak heran rasanya mendapati orang yang katanya ekonominya sedang susah bahkan berobat anaknya saja minta-minta justru bersekolah di tempat yang elite, prasangka tentang Bang Dwika juga mengurusi uang pendidikan Nada membuatku semakin meradang. Jika benar hal itu sampai terjadi, percayalah, aku akan menyeret suamiku ke hadapan komandannya.
"Apa ini Ibunya Nada?" Tanyaku sambil memperlihatkan screenshoot yang aku ambil dari ponsel Bang Dwika tadi pagi, dan benar saja Miss Beta mengangguk.
"Iya, itu Ibunya Nada, Ma. Sebelumnya saat Nada kelas satu, saya juga wali kelasnya, selama ini yang saya tahu memang cuma Mamanya Nada, saya nggak pernah lihat Papanya."
"Lantas selama ini Miss pernah lihat hal ganjil antara suami saya dan Mamanya Nada? Tidak langsung menjawab Miss Beta justru bergerak gelisah, gesturenya menunjukkan jika dia tengah tidak nyaman dengan pertanyaanku ini dan enggan menjawabnya, "tolong ceritakan yang Miss tahu. Bantu saya untuk mempertahankan rumah tangga saya Miss, tidak perlu kasihan kepada saya, tapi tolong kasihani Andika. Saya hanya ingin mempertahankan rumah tangga saya dari orang-orang yang berniat merusaknya."
Miss Beta menatapku ragu, tapi melihatku memohon bahkan sampai mengiba rupanya beliau pun luluh juga.
"Sebenarnya saya sudah agak lama memperhatikan ada yang ganjil Ma perihal Papanya Andika dan Mamanya Nada, mereka sering bertemu saat mengantar anak-anak ke sekolah dan berakhir dengan Mamanya Nada yang masuk mobil Papanya Dika. Bahkan kadang saya melihat Papanya Dika menjemput Nada bersama Mamanya Nada setelah Anda menjemput Dika."
Kedua tanganku terkepal erat, kemarahan semakin merajaiku. Astaga, ternyata suamiku sejahat ini ya? Aku kira dia pria berdedikasi dalam pengabdiannya ternyata dia tidak lebih daripada buaya serakah.
"Mungkin itu sebabnya anak-anak yang lebih besar membully Dika, Ma."