Part 16

13.5K 1K 46
                                        

"Sudah ya Mbak, nggak usah di gubris suami gelo kayak dia. Mungkin suami Mbak kena pelet itu sundelbolong, huuuu, gemes pengen remes mereka."

Percayalah, saat mendengar hiburan yang berakhir dengan kegemasan tersebut aku masih menangis memeluk Dika, tapi akhirnya mau tidak mau aku tertawa juga. Sungguh di bandingkan banyak omongan lainnya, apa yang Ibu tadi tadi benar-benar menghiburku.

"Semangat ya, Mbak. Buat hidup Mbak dan jagoan Mbak ini. Percayakan sama Tuhan saja, Mbak. Kadang kita dikasih lihat yang jahat karena Tuhan nggak mau kita dibodoh-bodohi sama mereka."

"Tenang saja, Mbak, kita paguyuban woman support woman anti orang ketiga, Mbak. Urusan itu ulet bulu di buntel kafan biar kita yang beresin. Hari gini karier di tangan netizen."

Mereka semua mengerubungiku, mengusap bahuku pelan menenangkan hatiku yang hancur berantakan, kami tidak saling mengenal tapi masalah hati yang diduakan sesama wanita pasti akan merasakan sakitnya.

"Mama, sudah ya Ma. Jangan nangis, Dika udah nggak mau minta sama Papa kok. Papa jahat ke Dika sama Mama, Dika maunya sama Mama saja."

Percayalah, saat Dika mengatakan hal tersebut hatiku yang sudah hancur berkeping-keping kini menjadi serpihan debu yang berantakan, ada haru yang menyeruak karena putraku tahu bagaimana buruknya hubunganku dengan Papanya, tadi di satu sisi lainnya aku pun sedih karena anak sekecil ini harus melihat dan memahami jika Papanya tengah menggila. Untuk masalahku dan Bang Dwika tidak ada solusinya selain dari Bang Dwika sendiri, mau aku menjadi manusia sesempurna apapun tapi jika hatinya masih menginginkan Nana, maka aku akan selalu kalah.

Hatiku yang sejak awal sudah lelah bersaing dengan masalalu, kini semakin lepas saat mendapati bukan hanya aku yang hancur disini, tapi juga putraku. Walau tangan kecilnya berusaha mengusap air mataku dan bibirnya tersenyum agar aku tidak terus menangis, pasti hatinya pun terluka saat melihat Papanya yang selalu dia banggakan ternyata memilih bersama orang lain.

Aku meraih tangan kecil tersebut dan menciumnya, dalam hati aku tidak hentinya bersyukur karena di tengah badai ini Tuhan masih begitu berbaik hati dengan memberikan Dika untukku. "Maafin Mama, ya."

"No, Mama nggak salah. Papa yang jahat!" Dika kini memelukku erat, pelukan hangat yang aku balas sama eratnya. "Dika janji mulai sekarang Dika akan jaga Mama. Dika bakal jadi super hero yang akan lindungi Mama dari orang jahat kayak Papa."

Jika sudah mendapatkan cinta sebesar ini dari seorang yang sangat berharga untukku, aku sudah tidak peduli lagi dengan hal lainnya. Terserah Bang Dwika mau bagaimana dengan manusia jahat macam Nana, aku yakin takdir akan menunjukkan keadilan yang terbaiknya. Kini usai air mata yang terus keluar tanpa henti akhirnya surut berganti dengan senyuman.

Aku harus kuat menghadapi dunia demi putraku.

"Bersyukur ya Mbak, punya anak sepintar ini. Percayalah Mbak, saat orang jahat melempari kita dengan kotoran, Allah akan balas mereka dengan satu truk sampah."

"Terimakasih ya, Mbak." Aku mengangguk saat seorang yang sepertinya seusia denganku menguatkan, tidak hanya memberiku semangat, dia juga menyodorkan ponselnya kepadaku, ternyata di antara beberapa orang yang melihat kejadian memalukan ini, beliau salah satunya.

"Mbak save nomor saya, ya. Mbak juga save video ini dari awal sampai akhir, ibu-ibu disini pasti gedek dan ada yang viralin video Mbak. Kalau nanti malah Mbak yang di salahkan, kasih lihat video ini, videonya saya rekam dari awal sampai akhir, kalau perlu Mbak bisa hubungi saya buat jadi saksi."

Melihat kepedulian yang orang-orang tunjukkan kepadaku membuatku memiliki semangat baru untuk bertahan, usai mengucapkan terimakasih pada wanita bernama Zeezee tersebut, aku kembali menggendong Dika. Putraku yang sudah melewati banyak hal satu hari ini perlu istirahat, satu hal yang aku dan Dika inginkan sekarang adalah pulang ke rumah secepatnya.

Kembali lagi, Takdir seakan mengirimkan segala kebaikannya kepadaku, bahkan aku belum beranjak pergi, dokter muda yang tadi aku titipi Dika menghadangku, tanpa berbicara padaku, dia langsung berbicara pada Dika yang ada di gendonganku, "Om anterin, ya? Sekalian Om mau pulang, pasti kamu sama Mamamu capek."

Dika melihat ke arahku, seakan dia tengah bertanya pendapatku akan tawaran yang diberikan oleh pria yang terlihat lebih muda lima tahun dariku ini, sosok berkacamata tipis itu sontak melihatku, tersenyum kecil penuh rasa maklum. "Saya anterin ya, Mbak. Nggak ada maksud apa-apa kok, cuma lihat Dika dan apa yang terjadi tadi, saya berasa wisata masalalu."

Sederhana kalimat yang di ucapkan oleh dokter muda ini, tapi tersirat luka dan trauma di sorot matanya, hal yang membuat mataku semakin lebar, di dunia ini bukan hanya aku yang mendapatkan kemalangan, bukan hanya aku yang paling menderita dalam ujian, ada banyak orang yang juga tengah berjuang agar tetap baik-baik saja di antara badai yang menerpa.

Tidak ada alasan untukku meratapi semuanya, membalas senyuman ramah dokter tersebut aku mengangguk, "terimakasih bantuannya, dok."

"Sama-sama, Ibu kuat."

Aku dan Dika tertawa mendengar panggilan yang terlontar dari dokter tersebut sebelum dia membukakan pintu belakang untukku, "Mama kedengaran kayak Thor!"

"Mamamu memang sekuat Thor, jadi kamu harus lebih kuat lagi." Balas dokter tersebut dari depan tempat kursi pengemudi. Sungguh aku benar-benar tidak nyaman karena harus duduk di kursi belakang,  bukan maksudku kecentilan ingin duduk di depan, tapi aku merasa aku seperti seorang penumpang dan dia sopirnya sementara kenyataannya aku adalah yang menumpang.

"Dika bakal jadi super hero buat jagain Mama, dok."

"Pinternya. Good job, Boy." Dika bukan seorang yang susah bergaul, tapi untuk menerima orang baru pun dia juga bukan tipe orang yang mudah mengenal, tapi dalam sekejap Dika bisa akrab dengan dokter muda tersebut, kesupelan dokter tersebut dalam berbicara dan menceritakan hal-hal yang lucu rupanya membuat Dika nyaman. Sepertinya dokter tersebut paham jika Dika butuh pengalih perhatian usai banyak hal yang mengguncang jiwa anak sekecil ini. Terlalu antusias berbicara sampai-sampai Dika tertidur kelelahan saat kami terjebak kemacetan.

"Terimakasih tumpangannya ya, dok......" kalimatku tergantung, sedari tadi aku hanya menjadi pendengar tanpa tahu siapa dokter penolong ini.

"Panggil saja saya Abra, Mbak. Jangan dokter, saya belum sah jadi dokter, saya masih magang." Satu hal yang aku sukai dari pria yang cocok menjadi adikku ini adalah sikapnya yang rendah hati, di saat orang lainnya berlomba-lomba kegilaan dengan gelar dokternya, dia malah meminta seperti ini.

"Terimakasih ya sudah menghibur Dika, selama ini Papanya adalah rolemodenya, sosok pahlawan yang selalu di kagumi tapi akhirnya Papanya juga yang mengecewakannya."

Bersaing dengan MasalaluWo Geschichten leben. Entdecke jetzt