Part 19

11.9K 960 30
                                    

"Sejak kapan kamu menjadi kurang ajar seperti ini, hah?"

Tanpa peduli dengan Ibu mertuaku, Nyonya Susanti Prasetyo yang masih terus memakiku, aku masuk ke dalam rumah di ikuti oleh beliau. Seakan tak menganggap hadirnya sebagai sesuatu yang berarti aku memilih untuk menyiapkan segelas minuman segar untukku. Jus jeruk, sejak dulu buah ini adalah favoritku, baik dimakan langsung maupun di buat minuman. Setelah panas cuaca di luar dan panas di dalam hati, aku sangat butuh minuman ini untuk menyegarkan kembali hatiku. Tidak lupa juga aku mengecek apa Bik Har sudah memasak, terutama masakan untuk Dika yang termasuk picky eater. Perlu di tahu Dika tidak mau makan pedas, tidak mau makan santan, yang memakai kunyit dan juga memakai lada, percayalah, jika salah satu dari satu bahan itu ada di sana maka Dika tidak akan mau makan, aaaah, satu lagi, masakan yang tidak akan pernah bisa masuk mulut Dika adalah Bakso. Iya, bakso, masakan sejuta umat tapi tidak untuk putraku.

Merepotkan? Sedikit! Tapi itu membuatku merasa Dika lebih suka masakanku daripada jajan.

Memikirkan tentang putraku dan melihat sayur bayam gambas dengan tempe, ayam goreng dan sambal yang tersaji di meja sukses membuatku bisa mengacuhkan Ibu mertuaku yang terus memakiku. Bahkan Bik Har yang melihatku dari kejauhan pun hanya bisa mengelus dadanya prihatin, sedari awal Bik Har ikut denganku satu pertanyaan dari beliau adalah bagaimana bisa Ayah mertuaku jatuh hati pada sosok Ibu mertuaku yang mulutnya seperti comberan ini. Dan karena perihal comberan yang sempat aku katakan tadi, makian tidak henti-hentinya aku dapatkan.

"Dasar menantu durhaka! Hebat ya sekarang kamu! Merasa di atas awan kamu hah sampai berani-beraninya mulut busukmu itu menyebut mertuamu sendiri comberan! Lihat dirimu sendiri, kamu itu tidak lebih dari pada sebuah sampah. Perempuan miskin benalu yang hanya numpang hidup pada putraku, kamu bisa berpakaian bagus karena uang anakku, kamu bisa memakai perhiasan juga uang anakku, bahkan kamu bisa meminum jus di dapur bagus ini juga karena anakku, dengan semua yang anakku berikan, betapa tidak tahu dirinya kamu di hadapanku yang seharusnya kamu hormati."

Tetes jus jeruk terakhir sudah habis tandas masuk membasahi kerongkonganku bersamaan dengan makian terakhir dari Ibu mertuaku karena kini aku berhadapan dengannya.

"Dengan uang tiga juta tiap bulan dari anak Anda apa Anda pikir uang itu cukup untuk saya membeli perhiasan seharga 25 juta ini?" Aku mengangkat gelangku, gelang kecil dengan berat 25 gram yang aku beli satu tahun lalu usai aku mendapatkan penjualan besar dari pekerjaan sampinganku. "8 tahun saya menikah dengan anak Anda, saya di jatah untuk belanja dapur dan pegangan seratus ribu perhari. Anda pikir, Anda yang kaya raya ini cukup dengan uang segitu? Anda kira uang anak Anda saya makan semua? Uang seratus ribu itu untuk memasak apa yang tersaji di atas meja dan masuk kembali ke perut anak dan cucu Anda, kalau Anda mempermasalahkan saya ikut memakannya, silahkan ambil Septi tank!"

Ibu mertuaku kembali geram, dia tampak ingin kembali mendebatku tapi aku dengan cepat menutup bibirku dengan telunjuk isyarat pada beliau agar terdiam.

"Disini saya istri Bang Dwika, bukan pembantu. Bersyukur saya bukan istri cerewet, wanita lain mana sudi di jatah suaminya tanpa tahu sebenarnya berapa uang yang dimiliki suaminya. Anda orang kaya tapi Anda sama sekali tidak berpendidikan, saat anak Anda menikahi wanita, tanggung jawab seorang Ayah beralih pada suaminya, dan anak Anda tidak melakukan hal tersebut kepada saya. Bertahun-tahun saya menerimamu sebagai bentuk bakti seorang istri, tapi barusan saya menyadari jika diamnya saya adalah sebuah kebodohan."

"Apa maksudmu, hah? Wanita miskin nggak usah sok intelek."

"Saya miskin tapi saya punya sopan santun. Anda tadi bertanya kan kenapa saya sekarang berani kepada Anda, sekarang saya beritahu, itu karena saya tidak punya alasan apapun untuk tetap diam dan menghormati Anda. Sama seperti saya sudah kehilangan rasa hormat terhadap putra Anda. Anda berdua tidak pantas mendapatkan hormat. Sikap kalian ini sama seperti yang saya katakan tadi. Comberan!"

"Aaaaarrrrgggghhhhhhhh!!!! Benar-benar kamu ya, Alia!" Tangan Ibu mertuaku kembali melayang ke arahku, tapi kali ini belum sempat tangan itu mendarat di tubuhku, suara mobil terdengar memasuki halaman. Bukan satu mobil tapi tiga, dan sudah jelas jika itu bukan hanya suamiku tapi juga orang lain, entah Ayah mertuaku, atau mungkin kedua iparku. Aku tidak tahu, tapi yang jelas Ibu mertuaku langsung berlari hendak mengadu pada mereka dengan tangis banjir air mata.

Kalian tahu rasanya menjadi diriku sekarang, capek luar biasa, tubuhku terasa lunglai saat aku mematikan rekaman suara di ponselku. Belajar dari Mbak Zeezee tadi, aku perlu bukti kuat saat Ibu mertuaku hendak memfitnahku, dan bagian terburuk dari skenario takdir, jika aku hendak bercerai dari Bang Dwika.

Cerai? Untuk seorang yang tumbuh dalam keluarga harmonis, kalimat tersebut bagai sebuah momok, tapi bertahan pada suamiku yang jahat, rasanya aku tidak sanggup.

Meski aku malas dan lelah, akhirnya aku memutuskan untuk menyeret tubuhku keluar, baguslah Ibu mertuaku memanggil mereka semua, aku tidak perlu bersusah payah mengadukan perilaku anaknya. "Bik Har, buatin teh hangat untuk semua tamu yang datang." Pesanku sebelum berlalu ke ruang tamu.

Dan benar saja, nyaris semua keluarga Prasetyo datang. Ayah mertuaku dan ajudan beliau, Bang Hanaf. Kakak ipar sulung, Diwangga dan istrinya. Serta adik iparku, Diana dan suaminya, Reza. Adik iparku yang biasanya begitu manis saat bertemu denganku kini menatapku sinis, menyalahkanku karena Mamanya menangis tersedu-sedu menceritakan bagaimana jahatnya aku. Sementara suamiku, lihatlah dia, duduk dengan gagah usai pergi membawa sahabatnya. Aku sangat heran dia tidak membawa Nana ke hadapan keluarganya sekarang ini.

"Papa, mantu kesayangan Papa itu jahat ke Mama, Pa. Waktu Mama tegur dia karena ketahuan selingkuh sama brondong, dia malah ngatain Mama comberan, Pa! Bayangkan Pa, dia nyebut mertuanya comberan! Anak itu benar-benar, dia jadi besar kepala karena Papa selalu belain dia."

Semua orang menatapku dengan tajam, tangan-tangan keluarga superior ini terkepal marah karena apa yang di adukan oleh Ibu mertuaku, tapi jika kalian berpikir aku gentar di tatap sedemikian rupa maka kalian salah.

"Alia, keterlaluan kamu!

"Benar yang di katakan oleh Mama, Mbak?"

"Kamu berselingkuh Al?"

Bersamaan tiga orang putra Prasetyo tersebut bertanya serempak kepadaku, dua yang bertanya tentang perihal comberan, dan satu pertanyaan dari suamiku tentang perselingkuhan.

Aku menatap mereka bergantian sebelum akhirnya menjawab dengan santai, "iya! Saya menyebut Nyonya Susanti Comberan karena beliau terus menyebut saya sampah! Diana, Mbak Eva, kalau kalian yang di panggil mertua kalian dengan sebutan sampah selama 8 tahun penuh apa kalian tetap akan diam?"

Bersaing dengan MasalaluWhere stories live. Discover now