Alia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sumpah dah, baca Part ini air mata langsung banjir, ingus berleleran, sumpah, benci banget sama si Dwika
"Puas kamu?"
Aku menatap dua buah kartu yang kini ada di tanganku, sebuah kartu debit dari sebuah bank Swasta ternama dengan prioritas untuk pemegangnya yang menunjukkan jika saldo yang ada di dalamnya sama sekali tidak sedikit, dan juga sebuah ATM merah putih. ATM yang seharusnya aku pegang semenjak kami menikah tapi nyatanya baru aku miliki sekarang.
Disaksikan oleh Bu Danyon Rani Desta Ariawan, Bang Dwika terpaksa menyerahkannya kepadaku. Tidak hanya terpaksa menyerahkan masalah keuangan, tapi barusan dia pun harus merilis pernyataan permintaan maaf ke publik lengkap dengan dia yang mengakui khilaf dan juga menepis jika rumah tangga kami berakhir karena orang ketiga. Bahkan dalam permintaan maaf yang di rilis resmi oleh bagian humas Batalyon tersebut, Bang Dwika harus mengatakan jika rumah tangga kami baik-baik saja bahkan semakin erat usai ujian yang baru saja kami hadapi.
Bang Dwika berkata jika dia pasrah dengan apa keputusanku, dan yang di maksud olehnya adalah aku yang meminta berpisah lebih dahulu, tapi yang aku lakukan justru sebaliknya. Aku tidak meminta berpisah, tapi justru aku menggenggam erat suamiku agar tidak bisa bersama dengan selingkuhannya. Di satu sisi aku terlihat bodoh, tapi di sisi lainnya aku pun mengagumi kegigihanku dalam mempertahankan rumah tanggaku ini. Selama permintaan maaf tersebut di rekam, Bang Dwika tampak tersenyum sembari menggenggam tanganku, semua orang tampak menganggumi kemampuan berakting suamiku, sungguh kami persis seperti dua orang yang baru saja bertengkar kemudian berbaikan, bisa aku bayangkan bagaimana murkanya si Gatal saat melihat bagaimana mesranya kami di dalam video rekaman yang akan di rilis.
Sekarang ini aku merasa seperti tokoh antagonis di antara dua orang yang saling mencintai sementara yang sebenarnya adalah aku sang istri sah yang berjuang mengembalikan semuanya agar tetap di tempatnya.
Mendengar bagaimana sinisnya suamiku saat memberikan dua kartu debitnya aku hanya bisa tersenyum kecil, "tentu saja aku puas. Bahkan kalau bisa aku bakal miskinkan kamu! Sekata-kata saja kamu ini ke aku, Bang. Dulu kamu yang maksa aku buat nerima kamu dengan segala kalimat manisnya. Aku ninggalin pekerjaanku demi mengabdi kepadamu, dan aku harus merelakan tubuhku yang proporsional menjadi gendut karena mengandung dan menyusui anakmu! Jangan lupakan juga aku hampir mati karena melahirkan anakmu! Catat! Anakmu! Aku yang melahirkan anakmu! Jadi semua hartamu ada hakku di dalamnya. Dunia akhirat aku nggak akan ridho milikku kamu berikan kepada wanita lain. Mengerti kamu."
Bang Dwika menggeram kesal, kehabisan kata-kata karena aku selalu bisa mengembalikan kalimatnya. Sungguh melihatnya geli seperti ini membuatku tertawa, melihatnya putus asa adalah hiburan yang menyenangkan untukku sekarang ini. Apalagi Bang Dwika tidak bisa berkutik sama sekali karena ini perintah langsung Danyonnya.
"Terserah kamulah, Al. Aku pusing menghadapimu."
Kali ini aku benar-benar tertawa, tawa pertamaku karena rasa geli bukan karena sarkas seperti yang aku rasakan sejak kemarin. Untuk sejenak aku seperti melihat Bang Dwika dalam mode normal seperti saat dia belum ketempelan masalalunya yang hanya menambah dosa di antara kami. Sebelumnya Bang Dwika memang tidak akan pernah bisa menang berdebat denganku tapi dulu kami berdebat tentang hal remeh yang menyenangkan untuk di bicarakan, bukan tentang hati mendua yang berakhir dengan permintaan untuk berpisah agar tidak menyakiti satu sama lain.
"Kamu bukan pusing mikir menghadapiku, Bang Dwika. Tapi kamu pusing mikir gimana ngasih duit sahabatmu itu kalau nanti dia minta, dan aku yakin dia bakal minta bahkan maksa kamu buat ada walaupun kamu udah jelaskan semuanya. Let see kita bakal lihat bagaimana reaksinya saat kamu nggak bisa ngasih apapun lagi ke dia. Kalau dia masih menerimamu, bahkan membantumu untuk stabil secara finansial dan tidak menuntutmu soal duit seperti yang aku lakukan selama ini ke kamu, pegang kata-kataku ini, aku bakal mundur dari kehidupan kalian."
Semuanya aku ucapkan dengan santai, tidak ada kalimat meledak-ledak seperti tempo hari, tangis dan kecewaku sudah aku lampiaskan semalam di sujudku, sekarang aku hanya perlu menjalani hidupku sebaik mungkin sembari memasrahkan semuanya pada Allah, karena aku yakin sebaik-baiknya penolong adalah Dia Yang Mahakuasa.
Aku mendekat pada Bang Dwika yang hanya berdiri mematung di tempatnya, aku tidak tahu apa yang sekarang dia pikirkan di balik diamnya. Dia ada begitu dekat denganku tapi terasa begitu jauh hingga aku tidak bisa menggapainya. Dan saat hanya sejengkal jarak di antara aku dan dirinya Bang Dwika beringsut mundur, seakan dia enggan aku semakin mendekat kepadanya. Menahan rasa miris dan kecewa karena penolakannya, aku tetap mendekat, kali ini meraih kerah kemeja seragamnya, dan menepuk sedikit kusut yang terlihat.
Tampak Bang Dwika terkejut dengan apa yang aku lakukan dan itu membuatku terkekeh kecil. "Bang, kenapa mesti sengeri ini sih cuma karena aku dekati, aku ini istrimu loh! Jangankan megang kamu kayak gini, banyak malam yang kita habiskan dengan saling memeluk satu sama lain. Bagi kamu mungkin hal itu tidak berarti, tapi bagiku itu satu hal yang membahagiakan. Aaahhh, lupakan apa yang barusan aku katakan disini cuma aku yang menganggapnya berarti."
"Kenapa kamu masih mempertahankan Abang kalau hal itu melukaimu, Alia. Abang benar-benar tidak bisa melupakan Nana dan menggantinya dengan dirimu."
Sakit? Tentu saja. Tapi aku sudah akrab berteman dengan rasa kecewa ini sejak kemarin. Semua emosi sudah aku luapkan kemarin hingga sekarang aku sudah tidak memiliki tenaga itu untuk marah-marah.
"Kamu pikir aku mempertahankanmu hanya karena mencintaimu, Bang? Tidak!" Jawabku sembari tertawa, ya, tawa yang membungkus luka dengan sangat apiknya. Semakin sakit hatiku, semakin lebar senyumanku. "Kan sudah aku bilang dari kemarin. Aku mempertahankan pernikahan ini karena aku tidak akan mengizinkan kamu dan wanita sundal itu bahagia. Kariermu ada di dalam genggamanku, dan selamanya wanita sundal itu hanya akan menjadi pelakor. Sampaikan pada wanitamu itu karena mulai hari ini, dia tidak akan mendapatkan sepeserpun uang darimu, baik uang dari usaha keluargamu, maupun dari gaji Tentaramu. Dia harus terbiasa hidup dengan kedua tangan dan kakinya, karena aku tidak sudi membagi apapun yang aku miliki dengan manusia benalu sepertinya."
Bang Dwika menggeleng pelan dengan sorot mata yang sulit aku artikan, ada sepercik rindu di matanya, namun itu seolah hanya khayalku semata karena nyatanya hanya kemarahan dan rasa tidak suka yang terlihat jelas, tapi aku sama sekali tidak peduli dengan hal tersebut, dan memilih untuk memeluknya dengan erat.
Ya, aku memeluknya, mendekapnya dan menyandarkan kepalaku yang penuh dengan berbagai macam pikiran di dadanya yang bidang, tempat ternyamanku selama delapan tahun ini yang jelas-jelas sudah dia bagi untuk wanita lain.
Aku kira aku adalah rumah bagi suamiku tapi nyatanya aku hanyalah hiburan untuknya sembari menunggu cinta sejatinya kembali. Menyedihkan? Tidak apa! Karena aku berjanji ini adalah kali terakhir aku bermanja dengannya, biarkan kali ini saja aku merekam wangi tubuhnya dan rasa hangat yang tidak akan pernah aku rasakan lagi.
Mungkin karena terkejut atas apa yang aku lakukan ini usai amukan yang tidak hentinya aku lakukan padanya membuat Bang Dwika terkejut hingga membeku tidak bereaksi atau menolakku, sampai akhirnya aku merasa sudah cukup aku melepaskan pelukannya.
"Mulai hari ini kita jalani hidup kita masing-masing ya, Bang. Aku sudah merelakanmu untuk pergi. Biarkan aku disini bersama putramu, pelukan tadi adalah hal terakhir yang aku minta darimu. Percayalah, aku tidak akan mengusikmu dan Nana lagi, karena itu jangan meminta apapun dariku lagi, karena merelakanmu saja sudah cukup sulit."