"Na, kamu nggak apa-apa, kan?" Pertanyaan suamiku kepada sahabatnya ini membuat semua orang membeliak, apalagi saat Bang Dwika menatapku penuh kemarahan, "Alia, kamu benar-benar keterlaluan, Abang benar-benar tidak mengenalmu. Abang kira kamu wanita lembut yang penuh pengertian, ternyata kamu tidak lebih daripada seorang wanita jahat."
Dari balik wajah suamiku yang tengah menatap nyalang ke arahku, aku bisa melihat seringai menyebalkan dari Nana yang tengah menangis, tidak ada seorang pun yang memperhatikan hal tersebut karena semua orang kini melihat ke arahku dan Bang Dwika.
Benar, kan? Firasat seorang istri tidak pernah salah. Aku tidak sekedar cemburu buta, aku memang merasakan jika Nana datang bukan sekedar meminta pertolongan namun dia hendak mengais keuntungan dari kenangan masalalu yang sulit di lepaskan oleh suamiku.
"Apa wanita yang membela anaknya adalah sebuah kejahatan, Bang?" Berbanding terbalik dengan suara kerasku saat berhadapan dengan Nana, suaraku begitu santai, bahkan hampir sama seperti biasanya aku berbicara dengannnya seakan tidak ada masalah apapun.
"Dika yang nakal, Al. Apa matamu buta sampai tidak melihat jika kelakuan nakal anakmu itu mencelakai Nada? Kamu lihat sendiri kan kalau Nada sakit, kena lemparan batu ya makin sakit lah dia! Kamu ini becus nggak sih jadi Ibu, anaknya salah bukannya di tegur malah kamu makin keterlaluan. Nggak heran Dika jadi liar, kelakuanmu sama beringasnya!"
Woooooaaaaah, aku benar-benar speechless dengan kemarahan Bang Dwika yang di tumpahkan padaku, dari semua kalimat yang keluar dari mulutnya semuanya menyalahkanku, merendahkanku, dan menyakitiku. Bukan hanya aku yang tidak bisa berkata-kata, beberapa orang yang menjadi penonton pun sampai geleng-geleng, mungkin di mata semua orang aku sama seperti yang di katakan oleh Bang Dwika. Istri barbar pencemburu yang tidak becus mengurus anak, tapi percayalah, saat kalian ada di posisiku, kalian mungkin akan melakukan lebih.
Menyerahkan Dika yang ada di gendonganku pada sembarang orang yang ada di sana, aku menyingsingkan lenganku, untuk mempertahankan harga diriku aku tidak akan mundur, Bang Dwika memberikan satu luka, maka aku akan membalasnya dengan sepuluh sayatan.
Rasa cinta yang sebelumnya bertahta di hatiku untuknya kini menghilang, sosok tampan yang ada di hadapanku ini bukan suamiku yang dulu memintaku untuk menjadi istrinya melainkan dia adalah monster mengerikan yang mata dan hatinya tertutupi oleh perasaan akan masalalu terhadap sahabatnya.
"Bukan mataku yang buta, tapi matamu Bang yang katarak! Sedari tadi kamu sibuk membela dua manusia yang bukan siapa-siapamu itu sampai kamu nggak melihat bagaimana kondisi anakmu ini?! Matamu nggak rabun kan buat lihat kalau anakmu di perban sana sini, apa kamu tahu kenapa anakmu sampai seperti itu? Anakmu di rundung karena Ayahnya yang merupakan seorang abdinegara ternyata seorang peselingkuh. Apa yang anakmu barusan lakukan adalah bentuk kecewanya kepadamu, tapi bukannya menenangkan anakmu, kamu sibuk melindungi mereka!"
Dengan marah kutunjuk dua orang yang kini berlindung di balik tubuh gagahnya, tempat yang seharusnya menjadi tempat perlindunganku justru di berikan Bang Dwika pada orang lain.
"Andika anakmu, Bang. Bukan anak itu. Atau jangan-jangan memang dia anakmu, makanya kamu mati-matian membelanya dan menyokongnya secara finansial." Kesadaran akan hal tersebut bagai palu godam yang menghantam kesadaranku, bahkan saking syoknya aku sampai tidak bisa berbicara kembali untuk beberapa saat di tambah diamnya Bang Dwika, pikiran itu semakin kalut, tidak, tidak mungkin kan jika plot twistnya seperti ini?
8 tahun yang lalu Nana yang menolak Bang Dwika, tidak mungkin saat Nana menolak lamaran Bang Dwika kondisinya sedang hamil. Bukankah seharusnya jika benar anak itu adalah anak Bang Dwika, Nana akan dengan senang hati menerima lamaran Bang Dwika dan bukannya malah menikah dengan Ganang si Boss Garmen? Aku menggeleng pelan, mengusir prasangka buruk tersebut tapi saat melihat seraut wajah Nada yang mirip dengan Dika dan juga Bang Dwika yang ada di hadapanku, overthinking tersebut tidak bisa aku cegah, "nggak, tolong. Tolong jangan bilang kalau apa yang barusan ucapin itu benar! Nggak!"
Bukannya menjawab keresahanku, agar Prada hakku tidak berkembang liar, Bang Dwika justru berdecak keras, alih-alih sadar akan kesalahannya, dia malah meraih Nada yang masih menangis dan menarik bangun Nana yang masih betah bersimpuh. Sungguh perlakuannya ini benar-benar melukaiku, dimatanya aku benar-benar sudah tidak berarti sama sekali.
"Alia, tolong kendalikan dirimu! Bisa nggak sih kamu nggak emosi dan ngomong ngalor ngidul kayak gini. Kamu semakin di ladeni semakin ngawur saja, Al. Terserah kamu mau mikir kayak gimana, aku nggak peduli, sikapmu yang keterlaluan ini sudah bikin aku malu! Kalau sampai aku benar-benar mendapatkan masalah di Batalyon, itu semua karena kamu. Kamu bukan lagi Alia yang aku kenal."
Bayangkan bagaimana jika kalian yang ada di posisiku sekarang yang mendapatkan balasan menohok dan menyakitkan macam apa yang terucap dari suamiku, seolah hatinya mati, Bang Dwika berbalik, dengan sangat hati-hati dia membimbing sahabat dan anaknya menuju mobil keluarga kami. Tidak peduli kepadaku, dan juga anakku.
Dengan mata yang terasa panas karena air mataku yang terasa penuh, aku hanya bisa berbalik, apa lagi yang bisa aku harapkan dari suamiku, semakin aku mempertahankan harga diriku, semakin suamiku menggila membela sahabatnya, langkah kakiku terasa begitu tertatih saat kembali pada Dika, hatiku benar-benar hancur saat Dika yang ternyata di jaga oleh seorang dokter yang masih begitu muda, bahkan kini telinga mungilnya di tutup oleh dokter baik hati tersebut.
Dan tangisku akhirnya pecah saat aku memeluk Dika, "maaf, Dika. Maaf. Maaf kamu harus melihat semua hal menyakitkan ini. Maafkan Mama, Nak." Sungguh, satu hal yang paling aku sesali dari semua hal menyakitkan yang terjadi pada hari ini adalah aku tidak bisa mengendalikan diri, kenapa aku harus sama buruknya seperti Bang Dwika yang tidak bisa menjaga perasaan Dika. Aku benar-benar Ibu yang buruk, kemarahan menguasaiku hingga aku lupa diri ada seorang anak yang kini terluka.
"Mama, jangan nangis, Ma." Suara kecil yang merengek saat membalas pelukanku ini membuatku semakin terisak. Soal anak aku benar-benar lemah, aku merasa aku benar-benar gagal menjaga Dika. Bang Dwika, dia benar-benar menghancurkan segalanya hingga tidak ada yang tersisa lagi.
"Sudah Mbak, jangan menangis lagi. Kasihan adiknya, dasarnya suami Mbak saja yang gila." Entah siapa yang bersuara, tapi aku merasakan seorang yang kini mengusap bahuku pelan seakan ingin menenangkanku. Belum sempat aku berterimakasih atas support yang diberikan, aku mendengar teriakan yang mengumpat pada Bang Dwika dan Sundal perusak rumah tanggaku.
"Pak Tentara, Anda ini sudah gila atau otak Anda ini sudah kesumpelan dakinya tuh Sundal, Pak? Kelakuan Anda yang Dajjal, malah ngatain istrinya bikin malu!"
"Itu Pak Tentara Gadungan mungkin, Geloooo!!!! Istri sama anaknya di tinggalin malah ngajak anak orang buat pergi!"
"Tandain saja tuh Tentara mana, kita viralin Tentara gila yang sudah tega campakin istri dan anaknya demi pelakor!!!!!"
"Huuuu..... kita viralin mereka!!!
"Mampus, mampus dah tuh dua ulet bulu itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bersaing dengan Masalalu
RomanceAlia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...